Metaverse bukan bisnis spekulatif, tapi investasi masa depan

- 24 Februari 2022 - 09:13

digitalbank.id – OTORITAS Jasa Keuangan (OJK) mengingatkan perbankan di Indonesia untuk tidak melakukan bisnis yang spekulatif, seperti diantaranya ekspansi ke dunia metaverse. Sebagaimana diketahui, dua bank BUMN, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. atau BBRI dan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. atau BBNI telah mengumumkan hendak merambah ke dunia virtual tersebut. OJK mengatakan, lebih dari 50 persen pangsa pasar perbankan di Indonesia dikuasai oleh Himpunan Bank Negara (Himbara). Sementara itu, 80 persen dari sistem keuangan di Indonesia, masih bergantung pada perbankan. Alhasil, Himbara memiliki peranan penting di dalam perekonomian.

OJK sebagai regulator yang memiliki fungsi dan motto: mengatur – mengawasi – melindungi industri keuangan, memang seharusnya mengingatkan, menegur bahkan kalau perlu menindaknya demi kepentingan masyarakat. Namun berkenaan dengan teknologi metaverse, berita tersebut sangat menarik sekaligus mengundang pertanyaan apakah benar metaverse itu bisnis spekulatif? Kalau spekulatif apakah mungkin perusahaan raksasa seperti facebook berani masuk ke metaverse sekaligus mengganti namanya menjadi Meta. Juga JP Morgan, salah satu bank terbesar di Amerika, mengambil langkah besar ke Metaverse dengan membuka ruang virtual yang diberi nama Onyx Lounge di Decentraland. Langkah strategis JPMorgan, seperti dikemukakan perusahaan, adalah dalam upaya untuk memanfaatkan peluang pasar sebesar US$1 triliun.

Kata kuncinya adalah peluang. Dalam laporannya, JPMorgan mengungkapkan nama Onyx Lounge berdasarkan pada sistem pembayaran blockchain in-house JPMorgan. Perusahaan juga merinci jenis peluang bisnis yang dapat ditemukan di Metaverse melaui laporan tersebut. Ini yang lebih mengejutkan: “Metaverse kemungkinan akan menyusup ke setiap sektor dalam beberapa cara di tahun-tahun mendatang, dengan peluang pasar diperkirakan lebih dari US$1 triliun per tahun,” demikian JPMorgan.

Laporan tersebut mencatat harga rata-rata tanah virtual menjadi berlipat ganda dari US$6.000 menjadi US$12.000 antara Juni dan Desember 2021 lalu. Serta memperkitakan pengeluaran iklan dalam game akan mencapai US$18,2 miliarpada tahun 2027 mendatang.

JPMorgan telah mengidentifikasi serbuan kreator individu yang memanfaatkan Web3 untuk memonetisasi karya mereka dengan cara baru sebagai kekuatan pendorong di balik ekonomi baru yang sedang dibangun di metaverse.

JPMorgan menjadi bank pertama yang membuka ruang virtual di Decentraland berbasis blockchain. Di situ, pengguna dapat membeli sebidang tanah dalam bentuk NFT dan bertransaksi dengan mata uang kripto yang didukung blockchain Ethereum.

Kenyataan ini tentu akan memaksa kita untuk berpikir ulang, mengkaji dan menganalisa lebih lanjut apa sih metaverse itu. Mengapa bisa tiba-tiba menjadi pembicaraan banyak orang. Metaverse bukanlah ruang virtual belaka melainkan lebih dari itu sudah menjadi dunia kedua bagi para pelakunya. Metaverse adalah keniscayaan teknologi yang tak bisa kita tolak.

Salah satu hasil riset yang dilakukan Shinta VR — perusahaan pengembang metaverse asli Indonesia — pun membuktikan bahwa ekpektasi orang di metaverse itu adalah adanya peluang untuk menjadi lebih kaya di dunia virtual yang bisa dimanifestasikan di dalam dunia nyata. Dan kalau sudah bicara aset, kekayaan, transaksi, maka tak bisa dinafikan bahwa bank harus masuk ke metaverse untuk memfasilitasi aktivitas transaksi dan investasi di dalamnya. Dan yang lebih unik, semangat dunia metaverse adalah desentralisasi dalam berbagai hal. Setiap orang bisa meraih dan memiliki akses, kesempatan apa pun tanpa batasan lagi.

Sampai di sini, kita lebih memahami lagi betapa metaverse adalah sebuah teknologi yang netral. Dia akan menjadi baik di tangan orang baik. Sebaliknya, akan menjadi mudharat bila dipegang oleh yang jahat. Wacana dan diskusi tentang bagaimana metaverse di Indonesia harus terus dikembangkan sehingga semua pihak benar-benar memahami dan tidak salah kaprah dalam menyikapinya.

Termasuk dunia perbankan. Bank BRI yang beraset Rp1.725 triliun dan BNI yang membukukan aset Rp 964 triliun tahun 2021, tentu telah berpikir jauh, bahwa untuk masuk ke dunia metaverse adalah investasi masa depan, bukan mau jor-joran menggelontorkan uang di metaverse tanpa jelas ujung pangkalnya. Apalagi sebagai early adopter di metaverse, tentu mereka akan masuk dengan sikap yang prudent dan waspada akan setiap perkembangan. Dapat dipastikan kedua bank ini akan memulainya dari program customer experience atau loyalty program lainnya. Sehingga di tahap awal tentu untuk menghibur nasabahnya. Masuknya BRI dan BNI ke metaverse sangat menggembirakan dan harus didukung. 

Sekali lagi, lebih baik kita paham tentang dunia metaverse dan berada di dalamnya, daripada kita tidak mengetahui dan bersikap negatif terhadap metaverse, sampai terjadi sesuatu yang merugikan, lantas kita gagap dan tak mengerti harus bertindak. Tentu ini yang tidak kita inginkan.

Dari diskusi dengan para praktisi teknologi metaverse, komunitas NFT, kreator individu, para pemain cryptocurrency dan lain-lain, muncul sebuah pendapat yang menarik untuk kita simak, terutama kalangan perbankan dan regulator. Metaverse tidak bisa dikuasai oleh hanya segelintir orang, atau pihak tertentu termasuk perusahaan. Melainkan harus dikembangkan bersama-sama dalam sebuah ekosistem yang besar. Semangatnya adalah desentralisasi dan gotong-royong.

Adapun peran regulator di sini, akan jauh lebih baik bisa duduk bersama dengan para stakeholder metaverse. Akan lebih bijaksana sama-sama membahas soal regulasi dan audit smart contract dan berbagai tantangan di Web 3.0.

Lebih keren lagi bila pemerintah itu masuk ke jaringan Blockchain dan menjadi stakeholder di sana, pahami interaksinya, serta ambil posisi untuk melindungi konsumen. Dengan demikian, Pemerintah akan tetap terjaga marwah dan posisinya sebagai fasilitator dan protector (pelindung).

Sementara itu, konsumen/nasabah juga dapat value added, merasa aman, terjamin, dan terlindungi, tahu kalau ada problem lapornya kemana. Tidak dipungkiri nasabah/konsumen saat ini spekulatif, karena memang belum terbentuk stabilitas dari sebuah inovasi teknologi.
Tapi arahnya pasti ke sana, menuju stabil, menuju new status quo.(Safaruddin Husada)

 

 

 

 

 

Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.