Metaverse atau metaworse?

- 22 Februari 2022 - 06:58

The Guardian pekan lalu menurunkan laporan yang mengungkapkan prediksi analis bahwa 10-15 tahun ke depan potensi pasar di metaverse diperkirakan akan mencapai US$30 triliun. Bandingkan dengan seluruh ekonomi AS pada 2021 yang ditaksir nilainya sekitar US$25 triliun. Betapa dasyatnya potensi pasar metaverse.

digitalbank.id – JAGAD perbankan nasional, pekan pertama Februari 2022, dikejutkan dengan rencana masuknya BRI ke metaverse. Jagad itu makin bergoncang ketika di pekan kedua Februari, BNI juga mengumumkan ikut masuk ke metaverse. Keduanya adalah bank BUMN dengan aset jumbo. BRI punya aset lebih dari Rp1.600 triliun dan BNI asetnya Rp964 triliun.

Selang beberapa hari saja, jagad perbankan global dikejutkan dengan berita JPMorgan Chase, bank terbesar di Amerika Serikat, yang mengklaim sebagai bank pertama di dunia yang ada di metaverse. Bukan sedang meraba-raba atau ikut hype metaverse pasca Mark Zuckerberg me-launch Meta, JPMorgan sudah ada di dalam metaverse.

JPMorgan mengambil langkah besar ke Metaverse dengan membuka ruang virtual yang diberi nama Onyx Lounge di Decentraland. Langkah strategis JPMorgan, seperti dikemukakan perusahaan, adalah dalam upaya untuk memanfaatkan peluang pasar sebesar US$1 triliun per tahun yang ada di metaverse. Aset JPMorgan per akhir 2021 lalu tercatat US$3,74 triliun.

Baca juga: Shinta VR dan digitalbank.id gelar FGD “Banking in Metaverse: Challenges and Opportunities”

Kenapa di awal saya bilang cukup dikejutkan dengan masuknya BRI dan BNI ke metaverse? Karena banyak orang tak menyangka respons perbankan nasional terhadap isyu metaverse sangat cepat. Apalagi ini bank BUMN. Respon yang sangat cepat terhadap perkembangan teknologi ini perlu mendapat apresiasi tersendiri.

Metaverse, tanpa bisa dibendung lagi, saat ini menjadi isyu yang ‘amat seksi’ diadopsi banyak industri. Perbankan, gaming, fashion, tourism, sport, lifestyle and entertainment, food and beverage, telekomunikasi, otomotif dan masih banyak lagi industri yang sudah pasang kuda-kuda siap berkompetisi dan berkolaborasi di dalam metaverse.

Tapi apa iya metaverse ini benar-benar seksi dan potensi pasarnya besar sekali? Morgan Stanley memprediksi potensi pasar metaverse saat ini ada sebesar US$8 triliun. Namun, The Guardian pekan lalu menurunkan laporan yang mengungkapkan prediksi analis bahwa 10-15 tahun ke depan potensi pasar di metaverse diperkirakan akan mencapai US$30 triliun. Bandingkan dengan seluruh ekonomi AS pada 2021 yang ditaksir nilainya sekitar US$25 triliun. Betapa dasyatnya potensi pasar metaverse.

Baca juga: Jamie Dimon, tokoh penting di balik keputusan JPMorgan masuk ke metaverse

Lantas bagaimana dengan pasar Indonesia? Dengan 274 juta penduduk sudah bisa dipastikan pasarnya sangat potensial.

Menurut laporan yang dirlis We Are Social pada 2021 lalu, di Indonesia terdapat sekitar 202,6 juta pengguna internet atau sekitar 73,7% dari total populasi (274,9 juta) dan pengguna media sosial mencapai 170 juta atau 61,8% dari total populasi Indonesia. Populasi Indonesia didominasi oleh generasi muda yang merupakan pasar potensial untuk metaverse. Konsumen utama dari teknologi metaverse adalah generasi Z dan generasi Milenial yang saat ini memimpin sebagai generasi yang paling sadar teknologi.

Bahkan, Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) menyebut, jumlah investor kripto di Indonesia sudah mencapai 9,5 juta dengan volume transaksi sebesar Rp 478,5 triliun per Juli 2021. Kripto adalah mata uang yang digunakan dalam transaksi di metaverse. Angka yang cukup besar untuk instrumen investasi yang terbilang masih baru di Indonesia. Angka ini menduduki peringkat ke-4 produk investasi yang ingin dimiliki di tahun 2022 setelah deposito, saham, dan reksadana

Baca juga: Bidik potensi pasar US$1 triliun, JPMorgan jadi bank pertama di metaverse

Kembali lagi soal metaverse banking di Indonesia, ada satu komentar menarik yang diungkapkan Andes Rizky, Managing Director Shinta VR, sebuah perusahaan metaverse asli Indonesia yang kini dipercaya membidani metaverse banyak perusahaan, termasuk di antaranya proyek RansVerse milik Raffi Ahmad. Menurut Andes, masih ada pemahaman yang keliru mengenai metaverse banking di Indonesia.

“Banyak bank masih berpikir metaverse itu seperti memindahkan kantor. mereka seperti buka kantor cabang virtual di metaverse. Padahal metaverse sangat luas. ekosistemnya harus dibangun. Jadi saya bertanya juga, untuk apa satu bank masuk ke metaverse dan di sana bank itu cuma sendirian, stand alone,” tuturnya.

Andes mengatakan, prinsip dan semangat metaverse adalah desentralisasi. metaverse adalah gerbang menuju sebuah dunia baru yang tidak lagi mengenal jarak dan waktu. “Selain itu , metaverse adalah tatanan yang harusnya tidak memiliki egosentris pihak tertentu. Prinsip inilah yang tertuang dalam seven layer of metaverse, di lapisan ketiga, desentralisasi,” katanya.

Baca juga: Masih pelajari perkembangan metaverse, OJK belum siapkan regulasi metaverse banking

Lebih lanjut Andes mengatakan, dibutuhkan analisis dan pemahaman lebih dalam tentang apa yg diharapkan masyarakat jika masuk ke dalam metaverse. “Asumsi-asumsi yg selama ini beredar masih berada dalam koridor egosentral, sehingga dibutuhkan banyak masukan untuk membangun dunia metaverse banking yang dapat diterima masyarakat, khususnya para early adopter,” kata Andes.

Pernyataan Andes itu semakin meneguhkan bahwa di metaverse kita tidak bisa ‘hidup’ atau ‘tinggal’ sendiri. Seperti di dunia nyata, dunia virtual juga perlu ekosistem, perlu ada habitat yang diciptakan. Bayangkan kalau sebuah bank membuka cabang virtualnya sendiri di metaverse. Lalu pengunjung yang datang terus dirayu oleh customer relations bank untuk membuka rekening tabungan atau deposito di bank itu, atau reksadana atau penawaran-penawaran promosi investasi lainnya. Lalu semua visual metaversenya penuh dengan banner dan spanduk-spanduk bank tersebut. Habis itu mau apa? Pengunjung bingung dan itu sangat membosankan.

Baca juga: Setelah BRI dan BNI, Bank Danamon mulai lirik teknologi metaverse

Metaverse akhirnya malah menjadi ‘metaworse’. Pengalaman baru yang semula ingin diberikan kepada pengunjung, berubah menjadi pengalaman buruk. Ini tentu sangat tidak diharapkan dan amat kontraproduktif.

Shinta VR berkolaborasi dengan digitalbank.id saat ini tengah merancang dan mengembangkan satu ekosistem metaverse banking yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas seperti galeri NFT, business center, playground, taman hijau, sport center, show area dan yang tak kalah menarik adalah investasi di tanah virtual. Shinta VR menyiapkan teknologinya, sementara digitalbank.id melakukan mapping dan analisis yang komprehensif mengenai kebutuhan perbankan di metaverse. Sebab, tiap-tiap bank punya kebutuhan yang berbeda di metaverse.

Jadi di dalam metaverse banking ini, bank dan institusi keuangan lain bisa benar-benar menyuguhkan pengalaman baru, pengalaman imersif kepada para pengunjungnya seraya menginformasikan banyak hal, utamanya loyalty program kepada pelanggan atau calon pelanggannya. (Deddy H. Pakpahan)

Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.