Lantaran dianggap perusahaan konservatif, banyak Gen Z enggan bekerja di bank

- 30 November 2022 - 10:44

digitalbank.id – Porsi Generasi Z atau Gen Z dalam perusahaan mungkin belum terlalu besar saat ini. Namun seiring waktu, jumlah mereka pasti tumbuh dengan peran yang semakin penting.

Sayangnya, Gen Z memendam masalah yang harus diantisipasi para pemimpin perusahaan. Sebagai generasi yang dilahirkan dan dibesarkan di tengah gempuran media sosial dan pesatnya teknologi, mereka dibekap perasaan terisolasi.

Hal ini juga diperparah dengan situasi pandemi yang membuat mereka semakin kesepian. Setelah ditambah badai PHK beberapa tahun belakangan dan dibayangi ancaman resesi tahun depan, Gen Z membutuhkan dukungan perusahaan sepenuhnya agar dapat berkontribusi secara optimal.

Director of Graduate Program Universitas Prasetiya Mulya, Achmad Setyo Hadi, mengatakan Gen Z umumnya lahir pada periode 1996-2009.

Mereka merupakan generasi digital yang mahir dan gandrung akan teknologi informasi dan berbagai aplikasi komputer.

“Gen Z juga memilih platform yang lebih bersifat privasi dan tak permanen. Mereka dikenal lebih mandiri serta menempatkan uang dan pekerjaan dalam daftar prioritas,” ujarnya dalam acara HR Talk 2022 dengan tema A Framework for Leveraging the Uniqueness of the Generation Z di Jakarta,akhir pekan lalu.

Lebih lanjut, Setyo menilai Gen Z cenderung kurang suka berkomunikasi secara verbal, egosentris, dan individualis. Mereka juga tertarik memegang beberapa posisi sekaligus dalam perusahaan, jika itu bisa mempercepat kenaikan karier.

“Jadi tantangannya sekarang, bagaimana Gen X dan Gen Y harus merekonstruksi sosialnya untuk memahami Gen Z. Demikian juga, kelak Gen Z harus mau merekonstruksi untuk menghadapi generasi Alpha, Beta, dan seterusnya,” imbuhnya.

Dalam kesempatan yang sama, HR Manager PT Global Urban Esensial & HR Operations Manager, Dexa Medica (Member Dexa Group) Friska Finalia Sitohang mengungkapkan pihaknya sudah merekrut Gen Z untuk menjadi karyawan sejak beberapa tahun lalu.

Dia mengatakan karyawan Dexa Group saat ini didominasi oleh Gen Y sebanyak 57 persen, sementara Gen Z mengambil porsi 30 persen dan Gen X tinggal 13 persen. Pada GUE Ecosystem, anak perusahaan Dexa Group yang bergerak di bidang online marketplace dan informasi kesehatan, pada first line management, Gen Y mendominasi dengan 55 persen. Namun, Gen Z memiliki porsi sebanyak 45 persen.

“Pada posisi seperti content creator leader, product management, growth management, dan hal-hal yang berhubungan dengan digital initiative biasanya sudah dipercaya untuk diisi Gen Z. Itu perbedaannya,” katanya.

Dari sisi karakteristik, Friska mengatakan ada perbedaan mendasar antara Gen X, Gen Y, dan Gen Z yang bekerja di Dexa Group. Untuk aspirasi Gen X, lanjutnya, biasanya lebih mencari keseimbangan antara kehidupan dan nilai dari organisasi atau work life balance. Sementara itu, Gen Y atau kalangan millenial mencari kebebasan dan fleksibilitas (freedom and flexibility) dalam pekerjaan.

Menurutnya, aspirasi dari Gen X dan Gen Y sangat jauh berbeda dengan karakteristik atau hal-hal yang dicari oleh Gen Z. Dia mengatakan pekerja Gen Z di Dexa Group justru mencari rasa aman, khususnya terkait sisi finansial.

Banyak karyawan Gen Z yang tidak menolak jika mereka diberi tugas yang sangat banyak, asalkan ada imbal hasil yang didapat. “Beberapa Gen Z di tempat kami willing untuk bekerja lebih, as long as security and stability benar-benar dijaga,” ucapnya.

Di sisi lain, lanjutnya, Gen Z justru dikenal dengan sebutan career multitasker. Artinya, kata dia, Gen Z bisa saja menjadi karyawan permanen di satu perusahaan. Namun, mereka bisa saja masih bekerja paruh waktu atau freelance di tempat lain.

“Hal yang yang terpenting bagi Gen Z adalah mental health atau kesehatan mental. Pekerjaan masih bisa dicari,” ungkapnya.

Jika dilihat dari ekosistem kerja, Friska mengatakan situasi pandemi Covid-19 yang membuat orang harus berjaga jarak sangat disukai oleh Gen Z. Alih-alih mengikuti rapat secara tatap muka, lanjutnya, Gen Z justru lebih senang untuk rapat lewat Zoom Meeting atau Face Time.

Ini pula yang ditemukan pada Gen Z di BCA. Executive Vice President Human Capital Management Division PT Bank Central Asia Tbk. (BCA) Rudi Lim, mengungkapkan, “Selama pandemi Covid-19, BCA menerapkan work from home. WFH ini sangat diinginkan oleh Gen Z. Padahal, BCA sangat memperhatikan poin team work atau kolaborasi. Di sisi lain, karyawan yang bekerja secara online memuat proses monitoring tugas menjadi lebih sulit.”

Solusinya, BCA menerapkan strategi work from hub. “Jadi, karyawan Gen Z tidak perlu datang ke kantor pagi hari. Mereka bisa bekerja dari hub yang sudah ditentukan, lokasinya pun biasanya lebih dekat dari rumah,” ujarnya.

Rudi mengakui, Gen Z telah membawa nafas baru bagi BCA. “Porsi karyawan Gen Y dan Gen Z yang bekerja di BCA saat ini sudah mencapai 60 persen. Namun, kami sempat mengalami 10 tahun tidak melakukan rekrutment atau zero growth, yakni pada 2000-2010. Persoalannya, Gen X sebentar lagi akan pensiun, dan posisi penggantinya tidak ada,” kata Rudi.

Untuk itu, kata dia, BCA mulai melakukan akselerasi demi mempersiapkan karyawan Gen Z siap menggantikan posisi Gen X dan Gen Y di perusahaan. Rudi menuturkan Gen Z dikenal dengan sebutan generasi “Strawberry”.

Di satu sisi, Gen Z terlihat sangat kreatif dan penuh dengan ide-ide segar. Di sisi lain, Gen Z kerap dianggap mudah menyerah dan mencari alternatif lain. “Dari sisi tampilan luar, Gen Z terlihat percaya diri dan cuek. Di sisi lain, mereka mendambakan atasan yang bisa mengayomi dan berkomunikasi dengan mereka,” katanya.

BCA pun mengusung semboyan Senada yang juga dimaksudkan memberi dukungan kepada Gen Z. “Senada ini juga merupakan singkatan dari Setia, Naungi, dan Dampingi yang saat ini juga kami terapkan kepada karyawan Gen Z.” tambahnya.

Dengan tumbuhnya startup teknologi, Gen Z pun menaruh harapan dapat bekerja di perusahaan jenis tersebut. Ini pula yang membuat BCA harus “merebut hati” mereka dengan berbagai cara.

“Banyak Gen Z yang enggan bekerja di bank karena dinilai sebagai perusahaan yang konservatif. Untuk menyiasati hal tersebut BCA mulai melakukan pendekatan melalui jalur media sosial dan berkunjung ke kampus-kampus agar perusahaan bisa bertatap muka langsung dengan Gen Z,” tambahnya.

Friska mengatakan setidaknya ada 3 hal yang menjadi pegangan bagi perusahaan sebelum merekrut Gen Z, yaitu communication style (cara berkomunikasi), understanding work life balance (mengerti pembagian pekerjaan dan kehidupan pribadi), serta accountable freedom (kebebasan yang bisa dipertanggungjawabkan).

“Perusahaan harus berada di tengah-tengah dan tahu apa yang menjadi kebutuhan mereka. Harus ada honesty, trust, dan emotional bonding yang dibangun sejak pertama mereka masuk ke perusahaan dengan Gen X dan Gen Y,” tuturnya.

Setyo memaparkan, Universitas Prasetiya Mulya sudah mempersiapkan berbagai aktivasi bagi Gen Z agar tidak kaget saat masuk ke dunia kerja. Selain pembelajaran secara akademik, dia mengungkapkan Prasetiya Mulya menerapkan kegiatan yang bersifat non-akademik melalui program management society.

Ada berbagai kegiatan non-akademik yang disediakan bagi mahasiswa, mulai dari kesenian, olahraga, atau spiritual keagamaan. Ketika selesai dari Universitas Prasetiya Mulya, mahasiswa tidak hanya akan dapat ijazah dan transkrip nilai.

Mereka juga akan dapat SKPI (surat keterangan pendamping ijazah), yang isinya pencapaian non-akademik. “Itu menjadi bekal mereka agar tidak kaget saat masuk ke dunia kerja,” tutupnya. (HAN)

Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.