Tarif impor AS guncang ekonomi RI: Saatnya menabung ala Warren Buffett

- 10 April 2025 - 17:33

Kebijakan tarif impor global Amerika Serikat sebesar 32% terhadap produk Indonesia sempat mengguncang perekonomian nasional. Meski Presiden Trump kemudian menurunkannya menjadi 10% untuk sementara, dampak langsung tetap terasa—nilai tukar rupiah melemah, pasar saham anjlok, dan kepercayaan investor terguncang. CEO FINETIKS, Cameron Goh, menyerukan strategi keuangan cerdas di tengah ketidakpastian global, mencontohkan pendekatan Warren Buffett dalam menyimpan kas sebagai kekuatan. Masyarakat didorong untuk mengelola uang dengan bijak, bukan hanya menabung secara konvensional, tetapi juga memilih instrumen yang fleksibel dan menguntungkan.


Fokus utama:

  1. Dampak langsung kebijakan tarif impor AS terhadap ekonomi Indonesia: pelemahan rupiah, kejatuhan IHSG, dan ketidakpastian global.
  2. Strategi keuangan ala Warren Buffett sebagai inspirasi dalam menghadapi krisis ekonomi.
  3. Seruan CEO FINETIKS untuk menabung cerdas di tengah gejolak, termasuk solusi melalui produk tabungan dengan imbal hasil kompetitif.

Kebijakan pemerintah Amerika Serikat yang menetapkan tarif impor global sebesar 32% terhadap barang-barang dari Indonesia pada 3 April 2025 langsung menimbulkan guncangan terhadap ekonomi dalam negeri. Meski Presiden Donald Trump pada 9 April memutuskan menurunkan tarif tersebut menjadi 10% untuk sementara bagi sejumlah negara, termasuk Indonesia, sinyal ketidakpastian global terlanjur mencuat.

Cameron Goh, CEO dan pendiri FINETIKS, tak menutupi kekhawatirannya atas perkembangan ini. “Amerika Serikat merupakan salah satu pasar ekspor terbesar bagi Indonesia, dengan nilai ekspor mencapai US$28,1 miliar pada tahun 2024. Dampaknya jika tarif impor ditetapkan tinggi untuk Indonesia, maka produk Indonesia akan menjadi lebih mahal bagi konsumen Amerika, yang berpotensi menurunkan permintaan dan berdampak negatif pada para eksportir Indonesia,” ujarnya.

Sentimen negatif pun dengan cepat menjalar ke dalam negeri. Rupiah terjun bebas hingga menyentuh Rp16.750 per US$, mendekati titik nadir sejak krisis keuangan Asia 1998. Pada saat bersamaan, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) rontok 9% pada perdagangan 8 April, memicu penghentian perdagangan (trading halt) dan memukul kepercayaan investor ritel.

“Kombinasi potensi tarif tinggi, pelemahan mata uang, dan penurunan pasar saham menunjukkan ketidakpastian global sedang nyata di depan mata. Ini saatnya kita, sebagai masyarakat, bersikap lebih bijak dalam mengelola keuangan,” tambah Cameron.

Di tengah gejolak tersebut, sosok Warren Buffett kembali menjadi sorotan. Bloomberg Billionaires Index mencatat, ia adalah satu-satunya dari jajaran orang terkaya dunia yang kekayaannya justru meningkat selama tahun 2025, saat pasar saham global mencatat penurunan 10–20% sejak awal tahun.

Buffett dikenal sebagai investor legendaris yang memegang prinsip menyimpan cadangan kas dalam jumlah besar di masa krisis. Ia tak tergesa membeli saat pasar terguncang, namun justru menunggu peluang ketika valuasi membaik. “Holding cash saat pasar panik bukan berarti takut ambil risiko, justru itulah strategi jangka panjang yang membuat Buffett semakin kaya ketika orang lain terpuruk. Momen seperti sekarang adalah pengingat penting bahwa cash is not passive, it’s strategy,” kata Cameron.

Strategi ini bukan hanya berlaku untuk investor besar, tetapi juga relevan bagi masyarakat umum. Di tengah ekonomi global yang rapuh, menabung bukan sekadar menyisihkan uang, tapi soal menyusun strategi bertahan dan berkembang.

Cameron menyampaikan bahwa masyarakat perlu mengubah cara pandang terhadap menabung. “Ini bukan soal menunda konsumsi, tapi bagaimana membuat uang kita bekerja di tempat yang tepat,” jelasnya.

Ia menyarankan tiga langkah konkret:

Pertama, prioritaskan kebutuhan utama. Dengan harga barang impor yang melonjak, fokuskan pengeluaran pada hal-hal esensial dan tunda belanja konsumtif yang tidak mendesak.

Kedua, siapkan dana darurat. Cadangan dana menjadi penting sebagai penyangga di masa sulit.

Ketiga, pilih instrumen tabungan yang memberi imbal hasil. Bukan hanya aman, tetapi juga bisa tumbuh.

Sebagai alternatif, FINETIKS menawarkan produk VIP Save—tabungan dengan bunga kompetitif hingga 6,25% per tahun yang diklaim fleksibel dan mudah diakses. Produk ini merupakan hasil kerja sama dengan Bank Victoria, dan menyasar masyarakat yang ingin menabung dengan hasil lebih tinggi dibanding tabungan konvensional.

“FINETIKS VIP Save memberikan kombinasi antara kenyamanan dan hasil yang optimal. Ini bisa menjadi cara untuk mengamankan dana sekaligus mengembangkan aset di tengah ekonomi yang tidak menentu,” tutup Cameron. ■

Comments are closed.