
Fintech peer-to-peer (P2P) lending terus berkembang pesat di Indonesia, dengan Rupiah Cepat mencatat penyaluran dana Rp29,3 triliun dalam tujuh tahun terakhir. Sebagian besar peminjam adalah Gen Z dan milenial, namun di balik angka pertumbuhan yang impresif, tantangan besar seperti kredit macet dan fraud digital masih membayangi industri ini. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun menyoroti pentingnya literasi keuangan untuk menekan risiko gagal bayar dan jebakan pinjaman ilegal.
Fokus utama:
- Mayoritas peminjam dan pendana (lender) berasal dari kalangan muda.
- Kredit macet tinggi akibat minimnya literasi keuangan.
- Fintech harus meningkatkan keamanan dan kepatuhan regulasi untuk menghindari praktik ilegal.
Industri fintech lending di Indonesia terus menunjukkan pertumbuhan yang pesat. PT Kredit Utama Fintech Indonesia (Rupiah Cepat), salah satu penyedia layanan peer-to-peer (P2P) lending, telah menyalurkan dana sebesar Rp29,3 triliun sejak berdiri tujuh tahun lalu. Menariknya, mayoritas pengguna platform ini berasal dari generasi muda, yaitu Gen Z dan milenial.
“Sejak awal berdiri hingga saat ini, Rupiah Cepat telah menyalurkan dana kepada 6,2 juta penerima, dengan 1.923 lender yang sebagian besar berasal dari Gen Z dan milenial. Kami optimis jumlah ini akan terus meningkat, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas,” ujar Direktur Utama Rupiah Cepat, N. Balandina T. Siburian.
Menurut data OJK, dari total pendanaan fintech sebesar Rp77,02 triliun, sekitar 60,49% peminjam berasal dari kelompok usia muda ini. Hal ini mencerminkan tren baru dalam industri keuangan di mana generasi muda semakin bergantung pada teknologi digital untuk memenuhi kebutuhan finansial mereka.
Namun, ada sisi lain dari tingginya partisipasi Gen Z dalam fintech lending: mereka juga menjadi kelompok dengan tingkat gagal bayar tertinggi.
Di balik angka pertumbuhan yang mengesankan, ada tantangan besar yang dihadapi industri fintech lending, salah satunya adalah kredit macet. Balandina mengakui bahwa banyak peminjam dari kalangan muda yang mengalami kesulitan dalam membayar utang mereka.
“Salah satu tantangan utama yang kami hadapi adalah kredit macet yang didominasi oleh Gen Z dan milenial. Budaya konsumtif tanpa diimbangi dengan pengetahuan pengelolaan keuangan menjadi faktor utama,” kata Balandina.
Fenomena ini juga diperkuat oleh data survei Bank Indonesia yang menunjukkan bahwa sekitar 74% anak muda di Indonesia cenderung menggunakan dana pinjaman untuk konsumsi, bukan untuk investasi atau kebutuhan produktif.
Guna mengatasi masalah ini, Rupiah Cepat aktif melakukan edukasi keuangan agar pengguna lebih bijak dalam mengelola pinjaman mereka. “Kami terus melakukan berbagai program literasi keuangan agar masyarakat lebih memahami risiko dan cara mengelola keuangan dengan lebih baik,” tambahnya.
OJK juga turut mengingatkan masyarakat agar berhati-hati dalam memilih platform pinjaman online. Deputi Direktur Perencanaan, Pengembangan, dan Edukasi Keuangan OJK, Naomi Triyuliani, menegaskan pentingnya menerapkan prinsip “2L” sebelum meminjam: Legal dan Logis.
“Sebelum memutuskan mengambil pinjaman, pastikan platformnya legal dan memiliki izin dari otoritas yang berwenang. Selain itu, skema pinjaman harus logis, jangan tergiur dengan suku bunga yang tidak masuk akal,” tegas Naomi.
Selain kredit macet, tantangan lain yang dihadapi industri fintech adalah risiko keamanan data dan maraknya praktik fraud digital, termasuk manipulasi data peminjam dan pinjaman ilegal.
“Perkembangan teknologi membawa tantangan baru berupa fraud digital. Untuk itu, Rupiah Cepat terus meningkatkan keamanan data pengguna melalui sertifikasi keamanan informasi ISO 27001,” jelas Balandina.
Pemerintah dan OJK juga terus memperketat regulasi demi melindungi masyarakat dari jebakan pinjol ilegal. Saat ini, ada 97 platform fintech lending yang terdaftar dan berizin di OJK, dengan tujuh di antaranya berbasis syariah.
Namun, di luar platform resmi, masih banyak pinjaman online ilegal yang menawarkan bunga mencekik dan metode penagihan yang tidak manusiawi. “Praktik seperti ini merusak reputasi industri P2P lending dan harus kita berantas bersama,” ujar Balandina.
Di sisi lain, masyarakat juga harus lebih kritis dalam memilih layanan keuangan digital agar tidak terjerat dalam utang yang tidak terkendali. “Kami mengajak masyarakat untuk lebih memahami hak dan kewajibannya sebelum menggunakan layanan fintech,” tutup Naomi.
Industri fintech lending di Indonesia terus berkembang dengan partisipasi besar dari Gen Z dan milenial. Namun, tingginya angka kredit macet dan meningkatnya ancaman fraud digital menjadi tantangan serius. Regulasi yang lebih ketat dan peningkatan literasi keuangan menjadi kunci untuk memastikan industri ini tetap tumbuh secara sehat dan berkelanjutan.
Dengan pemahaman keuangan yang lebih baik, generasi muda dapat memanfaatkan teknologi finansial untuk mendukung kesejahteraan mereka, bukan justru terjerumus dalam jebakan utang yang tidak terkendali. ■