Perkuat ekosistem P2P lending, OJK bikin aturan baru untuk lender dan borrower

- 2 Januari 2025 - 07:54

Dunia fintech di Indonesia bersiap menghadapi perubahan besar. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah merilis aturan baru yang dirancang untuk memperkuat ekosistem peer-to-peer (P2P) lending, menekan risiko hukum dan reputasi, serta meningkatkan kualitas pendanaan. Dalam langkah ambisius ini, kriteria ketat diberlakukan untuk lender (pemberi dana) dan borrower (peminjam dana) yang ingin memanfaatkan layanan ini.

Langkah OJK ini diambil dalam upaya menciptakan sistem keuangan digital yang sehat dan inklusif. Dengan kriteria baru yang mengelompokkan lender menjadi profesional dan non-profesional, serta batasan yang lebih spesifik bagi borrower, regulasi ini akan mulai diberlakukan secara bertahap hingga tahun 2028.

Namun, apa makna di balik perubahan ini bagi para pelaku industri dan masyarakat luas? Bagaimana dampaknya terhadap pertumbuhan fintech di Indonesia yang telah menjadi salah satu sektor digital paling berkembang dalam beberapa tahun terakhir?

Plt. Kepala Departemen Literasi, Inklusi Keuangan, dan Komunikasi OJK, M. Ismail Riyadi, menjelaskan bahwa aturan baru ini adalah bagian dari upaya menciptakan industri yang lebih efisien dan berkelanjutan.

“Dalam rangka meningkatkan kualitas pendanaan, menciptakan ekosistem industri yang tumbuh sehat, efisien dan berkelanjutan, pelindungan konsumen/masyarakat, serta meminimalisir potensi risiko hukum dan reputasi bagi pelaku industri LPBBTI (Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi), dipandang perlu untuk melakukan penguatan pengaturan,” kata Ismail dalam pernyataan resminya, Rabu (1/1).

Kriteria utama untuk borrower dan lender:

  1. Borrower: Harus berusia minimal 18 tahun atau sudah menikah, dengan penghasilan minimum Rp3 juta per bulan.
  2. Lender Profesional: Termasuk lembaga jasa keuangan, perusahaan berbadan hukum, individu dengan penghasilan di atas Rp500 juta per tahun, pemerintah, dan organisasi multilateral.
  3. Lender Non-Profesional: Individu dengan penghasilan tahunan hingga Rp500 juta, dengan batas penempatan dana maksimum 10% dari total penghasilan per tahun.

Dampak pada ekosistem fintech

Menurut data dari Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), jumlah pengguna P2P lending terus meningkat. Hingga akhir 2024, tercatat total pendanaan yang disalurkan mencapai Rp45 triliun, meningkat 30% dibanding tahun sebelumnya. Namun, di balik pertumbuhan tersebut, risiko gagal bayar dan kerugian lender menjadi perhatian utama.

“Regulasi ini bertujuan menciptakan perlindungan yang lebih baik, baik untuk lender maupun borrower. Dengan adanya batasan ini, kami berharap industri dapat lebih stabil dan mengurangi dampak negatif yang sering muncul, seperti praktik lending berisiko tinggi,” ujar Ismail.

Kriteria untuk borrower dan lender baru berlaku efektif pada 1 Januari 2027.

Porsi maksimal pendanaan oleh lender non-profesional tidak boleh melebihi 20% dari total pendanaan outstanding, yang berlaku mulai 1 Januari 2028.

Meskipun aturan ini memberikan harapan baru, tantangan juga membayangi. Banyak pelaku fintech harus menyesuaikan model bisnis mereka, terutama untuk menjangkau kelompok borrower berpenghasilan rendah yang seringkali menjadi tulang punggung pertumbuhan sektor ini.

Namun, regulasi ini juga membuka peluang. Dengan adanya lender profesional yang memiliki kapasitas pendanaan besar, platform fintech P2P lending dapat mengembangkan produk baru yang lebih inovatif dan sesuai dengan kebutuhan pasar.

Langkah OJK memperkenalkan regulasi baru ini mencerminkan keseriusan dalam membangun ekosistem keuangan digital yang lebih baik. Dengan aturan yang lebih ketat dan jelas, harapan terhadap masa depan industri fintech di Indonesia semakin besar. Namun, implementasi yang baik dan pengawasan ketat menjadi kunci untuk memastikan perubahan ini membawa dampak positif yang signifikan. ■

Comments are closed.