Dampak AI di industri fintech India, 50% karyawan diprediksi akan di-PHK. Bagaimana dengan Indonesia?

- 29 Desember 2024 - 07:08

Revolusi kecerdasan buatan (AI) kini memasuki dunia fintech India dengan dampak yang mengguncang. Sebuah survei terbaru mengungkapkan bahwa hingga 50% pekerja di sektor ini berisiko kehilangan pekerjaan dalam tiga tahun ke depan, terutama di lini pertama seperti help desk dan layanan global. Transformasi ini membuka peluang baru tetapi juga menciptakan tantangan besar bagi ribuan karyawan. Apa yang sebenarnya sedang terjadi di balik layar industri fintech India?

Dalam sebuah survei yang dilakukan oleh Abhishant Pant, pendiri The Fintech Meetup, kepada lebih dari 100 pendiri fintech, 50 perusahaan BFSI (banking, financial services, and insurance), dan beberapa modal ventura (VC), ditemukan bahwa 65% responden percaya PHK akan paling banyak terjadi di kategori Level 1 (L1), yang meliputi meja bantuan dan layanan global. Diperkirakan bahwa 30-50% pekerjaan di tingkat ini akan hilang karena otomatisasi berbasis AI.

“India mungkin masih meremehkan dampak besar ini. Namun, ini akan sangat terasa tahun depan,” ungkap salah satu pendiri fintech yang tidak disebutkan namanya seperti ditulis analitycsindiamag.com

Di tingkat eksekutif, sekitar 70% profesional senior di BFSI memprediksi kehilangan pekerjaan akan berada di kisaran 10-30%. Walaupun para pengembang perangkat lunak akan lebih terlindungi, teknologi seperti monitoring tools dan coding tools baru dapat meningkatkan produktivitas sekaligus mengurangi kebutuhan tenaga kerja.

Perusahaan seperti PhonePe, yang berhasil meningkatkan efisiensi transaksinya hingga 40 kali lipat berkat chatbot berbasis AI, menjadi bukti nyata transformasi ini. Dengan otomatisasi yang menyelesaikan lebih dari 90% masalah pelanggan, perusahaan ini memangkas 60% staf dukungan pelanggan.

Begitu pula dengan Paytm, yang pada akhir 2023 memangkas sekitar 1.000 karyawan setelah mengadopsi otomatisasi berbasis AI. CEO Vijay Shekhar Sharma menyebut bahwa otomatisasi ini mampu mengurangi biaya karyawan hingga 15%.

Namun, tidak semua perusahaan mengikuti tren ini. Zerodha, misalnya, telah menerapkan kebijakan untuk menjamin tidak ada pekerja yang kehilangan pekerjaan karena AI. “Kami memberikan jalan bagi karyawan untuk berpindah ke peran baru, bukan memutus hubungan kerja,” ujar Kailash Nadh, CTO Zerodha.

Di sisi lain, banyak perusahaan kecil dan menengah yang tidak terdaftar di bursa saham kemungkinan besar akan mulai merumahkan karyawan begitu tekanan dari investor meningkat.

Adaptasi atau terpuruk?

Pant menambahkan bahwa akan ada masa “churn” atau pergeseran besar di akhir 2025 hingga awal 2026, di mana pekerja semi-terampil yang bekerja di lingkungan nyaman, seperti kantor ber-AC, akan mengalami dampak terbesar. “Masa-masa ini mungkin akan berlangsung satu hingga dua tahun sebelum situasi stabil kembali,” tambah Pant.

Survei ini juga menunjukkan bahwa meskipun AI dapat membuat pengembang hingga lima kali lebih cepat, pekerjaan baru akan tercipta, yaitu mengelola tim AI dengan lebih sedikit intervensi manusia.

Menurut platform riset Tracxn, sejumlah startup seperti INDMoney, IDfy, dan GoKwik sudah mengadopsi AI untuk deteksi penipuan dan tugas-tugas operasional lainnya. Bahkan, survei Moody’s Investor Service mengungkap bahwa 18% perusahaan fintech India aktif menggunakan AI, jauh lebih tinggi dari rata-rata adopsi sektor lainnya yang hanya mencapai 9%.

Transformasi AI di sektor fintech memang menghadirkan tantangan besar, terutama bagi pekerja di lini pertama. Namun, inovasi ini juga membawa efisiensi dan peluang baru. Kuncinya adalah kesiapan perusahaan dan tenaga kerja untuk beradaptasi dalam menghadapi gelombang perubahan yang tak terelakkan ini.

Bagaimana dengan Indonesia?

Lantas bagaimana dengan Indonesia? Industri fintech Indonesia tengah berada di persimpangan jalan, di mana adopsi kecerdasan buatan menjanjikan efisiensi dan inovasi, namun juga menimbulkan kekhawatiran akan dampaknya terhadap tenaga kerja.

Meskipun AI menawarkan berbagai manfaat, seperti peningkatan proteksi melalui autentikasi dan pengenalan pola data , pertanyaan mengenai potensi pengurangan karyawan akibat otomatisasi tetap relevan.

Seiring dengan meningkatnya adopsi AI, beberapa perusahaan teknologi global telah melakukan pengurangan tenaga kerja secara signifikan. Perusahaan seperti Tesla, Amazon, Google, TikTok, Snap, dan Microsoft telah memangkas jumlah karyawan mereka, dengan alasan otomatisasi dan efisiensi .

Di Indonesia, fenomena serupa mulai terlihat. Pada awal 2024, startup fintech Xendit melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan alasan situasi makro ekonomi yang tidak menentu, yang memaksa perusahaan untuk mengubah struktur dan sumber daya manusia mereka .

Selain itu, laporan dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menyebutkan bahwa sebanyak 80 juta lapangan kerja diperkirakan akan hilang seiring berkembangnya teknologi.

Meskipun data spesifik mengenai dampak AI terhadap PHK di industri fintech Indonesia masih terbatas, tren global menunjukkan bahwa otomatisasi dapat menyebabkan pengurangan tenaga kerja, terutama pada posisi yang bersifat repetitif dan administratif.

Meskipun AI dapat menggantikan beberapa peran pekerjaan, teknologi ini juga membuka peluang baru. AI memungkinkan perusahaan untuk melakukan analisis data secara mendalam dan cepat, yang dapat meningkatkan efisiensi operasional dan membuka peluang bagi pengembangan produk dan layanan baru. Namun, tantangan terbesar adalah memastikan bahwa tenaga kerja dapat beradaptasi dengan perubahan ini melalui peningkatan keterampilan dan pelatihan ulang.

Menurut sebuah artikel, dampak adopsi AI membawa perubahan dalam tuntutan keterampilan tenaga kerja. Data menunjukkan bahwa sekitar 40% responden yang melaporkan adopsi AI memperkirakan lebih dari 20% angkatan kerja perusahaan mereka akan menjalani pelatihan ulang dalam tiga tahun mendatang .

Industri fintech Indonesia berada di ambang transformasi signifikan dengan adopsi AI. Sementara teknologi ini menawarkan berbagai manfaat, perhatian terhadap dampaknya terhadap tenaga kerja tidak boleh diabaikan.

Pemerintah dan pelaku industri perlu bekerja sama untuk memastikan bahwa adopsi AI dilakukan secara bertanggung jawab, dengan mempertimbangkan kesejahteraan tenaga kerja dan menyediakan program pelatihan yang memadai untuk menghadapi perubahan ini. ■

Comments are closed.