AdaKami — perusahaan platform peer to peer lending online — melakukan pengaturan strategi baru agar bisnis peer to peer lending online memiliki prospek dan keberlanjutan yang menjanjikan di masa mendatang. Strategi ini disusun setelah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan surat edaran OJK (SEOJK) dengan Nomor 19/SEOJK.05/2023 yang mengatur mengenai besaran bunga fintech peer to peer lending menjadi 0,3% per hari efektif mulai dari 1 Januari 2024.
Perubahan ketentuan ini mengharuskan pelaku usaha atau platform peer to peer lending meninjau ulang perhitungan biaya agar sejalan dengan ketentuan OJK. Ketentuan ini menjadi tantangan bagi industri karena pelaku usaha harus menjaga nilai tingkat wanprestasi (TWP) 90 agar kualitas kredit yang disalurkan tetap normal, sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi negara.
Direktur Utama Adakami Bernardino M Vega Jr memastikan, AdaKami akan semakin jeli dalam menyikapi penurunan bunga dari OJK, salah satunya untuk mengefisiensi underwriting process. Selain itu, AdaKami turut memangkas biaya promosi agar cost menjadi lebih rendah.
“Dari sisi prudency, kita juga tingkatkan. Makanya ada komisaris independen juga,” kata Bernardino.
Senada dengan Bernadino, Government Relation Head Adakami Anna Urbinas mengungkapkan, aturan ini dapat mengurangi beban pinjaman yang disalurkan akan lebih ringan, sehingga memudahkan masyarakat mencari solusi keuangan. Meskipun lebih ringan, masyarakat dan nasabah AdaKami tetap perlu memahami jumlah pinjaman agar kredit tidak macet.
Baca Juga: AdaKami optimistis bisa cairkan kredit Rp12 triliun selama 2023
Melalui aturan itu juga, Anna mengingatkan nasabah untuk berhitung secara presisi dalam melakukan pinjaman agar dapat melunasi pinjaman tempat waktu dan menghindari keterlambatan, bahkan hanya satu hari. Hal itu ia ungkapkan karena sering menemukan nasabah yang mengeluh karena nilai kredit yang menurun setelah telat membayar pinjaman.
Padahal, terlambat sehari pun bisa mengurangi nilai kredit untuk peminjam. “Penurunan bunga pinjaman mendorong industri untuk menyaring secara lebih ketat profil risiko nasabah. Artinya, nasabah dengan profil risiko yang lebih tinggi akan lebih kecil kemungkinannya untuk dapat dilayani oleh industri peer to peer lending,” kata Anna.
Anna menambahkan, AdaKami kini juga bekerjasama dengan empat perbankan nasional sebagai pemberi pinjaman. Kolaborasi ini mewajibkan setiap transaksi yang akan dilaporkan oleh pihak perbankan ke OJK dan Bank Indonesia, sehingga riwayat pinjaman di AdaKami akan mempengaruhi penilaian Sistem Layanan Informasi Keuangan Bank Indonesia (SLIK BI) atau BI Checking. BI Checking sendiri nantinya akan mempengaruhi akses pendanaan masyarakat pada platform peer to peer lending di waktu mendatang.
“Strategi ini menjadi fokus utama AdaKami dalam melakukan edukasi. Nasabah perlu tahu bahwa setiap transaksi yang terjadi di AdaKami, wajib dilaporkan ke SLIK OJK. Jadi OJK tahu siapa saja nasabah yang memiliki keterlambatan sejak hari pertama,” sebut Anna.
AdaKami sendiri memiliki kewajiban penagihan selama 90 hari sejak tanggal jatuh tempo sebagai bentuk mitigasi risiko dan bukti pertanggungjawaban terhadap pemilik dana. Polemik debt collector yang berguling memang diawali dari populasi kredit macet yang menjadi nilai merah bagi industri peer to peer lending. Terlebih karena kasus kredit macet masih marak dan masih banyak yang mempromosikan gagal bayar (galbay), Anna menilai masyarakat harus meningkatkan kesadaran tentang literasi keuangan serta masih menjadi concern perusahaan peer to peer lending.
Sebagai informasi, OJK mencatat kredit macet peer to peer lending per Oktober 2023 meningkat menjadi 2,89% dari September 2023 di 2,82%. OJK sendiri menetapkan batas maksimum 5% kredit macet yang dapat ditolerir dari sebuah platform peer to peer lending. ■
Kredit macet fintech P2P lending meningkat, ini kata AFPI… - digitalbank.id