Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat sedikitnya masih ada 29 platform fintech peer to peer (P2P) lending atau pinjaman online (pinjol) berizin yang kekurangan modal Rp2,5 miliar.
Terkait hal itu, Kepala Eksekutif Pengawas Inovasi Teknologi Sektor Keuangan, Aset Keuangan Digital, dan Aset Kripto OJK Hasan Fawzi mengibaratkan fenomena tersebut sebagai bagian dari seleksi alam fintech yang akan masuk ke fase berikutnya.
Dia menyinggung pada fase awal, berdirinya perusahaan fintech hanya memerlukan modal dan dana murah.
“Namun, kali ini dengan kondisi new normal yang ada, tentu penyelenggara fintech juga harus menunjukkan potensi mereka ke depannya,” katanya saat ditemui di kawasan Jakarta Selatan, Kamis (23/11).
Menurutnya, aturan baru itu akan menarik minat penyertaan dari berbagai sumber permodalan. Dia menerangkan Indonesia dari tahun ke tahun, terutama di tahun ini, mencatat pertumbuhan aliran permodalan tidak hanya dari sumber modal domestik, tetapi juga asing.
Oleh karena itu, dia menyebut aturan tersebut menjadi peluang yang seharusnya direspons dengan baik.
Hasan berharap penyelenggara fintech lending bisa menunjukkan bahwa mereka bisa memberikan potensi dan prospek ke depan yang akan menarik minat penyaluran modal-modal baru baik dari domestik maupun asing ke industri fintech.
Sebelumnya, Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya OJK, Agusman, membeberkan status terbaru dari 29 perusahaan pinjol yang belum memenuhi ketentuan kecukupan modal.
Baca Juga: Beleid baru OJK mengatur bunga P2P lending
Dia menyatakan dari 29 perusahaan yang belum memenuhi permodalan minimun Rp2,5 miliar tersebut, 6 perusahaan belum juga mengajukan permohonan peningkatan modal. Sementara itu, sebanyak 21 perusahaan tengah melalui proses persetujuan penambahan modal disetor dan 2 platform dalam proses pengembalian izin usaha. ■
OJK ungkap sebab suburnya investasi dan pinjol ilegal - digitalbank.id