
Meskipun tren penurunan jumlah ATM terjadi, khususnya di Indonesia, peran ATM tetap krusial untuk mendukung inklusi keuangan, terutama di wilayah dengan keterbatasan akses internet. Langkah bank seperti BCA yang menambah unit ATM modern menunjukkan pentingnya menjaga keseimbangan antara digitalisasi dan kebutuhan fisik masyarakat. Transformasi digital di sektor perbankan, termasuk adopsi QRIS dan aplikasi inovatif, mendorong efisiensi dan kemudahan. Namun, transformasi ini harus dilakukan secara inklusif agar tidak menciptakan kesenjangan layanan. ATM modern dapat menjadi jembatan antara layanan fisik dan digital, menjamin aksesibilitas keuangan bagi seluruh lapisan masyarakat.
Poin utama:
- Relevansi ATM modern: ATM tetap penting di era digital, terutama dengan teknologi setor-tarik (CRM), biometrik, dan NFC untuk meningkatkan inklusi keuangan.
- Dampak penurunan ATM: Penurunan jumlah ATM di Indonesia berisiko mengurangi akses layanan perbankan, khususnya di wilayah pedesaan yang bergantung pada uang tunai.
- Keseimbangan digitalisasi dan inklusi: Transformasi digital harus inklusif, seperti langkah BCA yang menambah ATM modern, guna menjembatani kebutuhan digital dan fisik masyarakat.
ATM tidak harus menjadi korban digitalisasi. Sebaliknya, dengan mengadopsi teknologi modern, ATM dapat tetap relevan sebagai bagian penting dari transformasi perbankan. Bank yang mampu memadukan infrastruktur fisik dengan layanan digital akan menjadi pemenang dalam persaingan di era ini. Modernisasi ATM bukan hanya soal efisiensi, tetapi juga tentang keberlanjutan inklusi keuangan di Indonesia.
Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia menyaksikan pergeseran masif dalam lanskap perbankan—penurunan jumlah mesin ATM diiringi lonjakan transaksi digital. Data terbaru dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan penurunan jumlah mesin ATM di Indonesia hingga 1.656 unit pada tahun 2024, sementara transaksi digital mencatat pertumbuhan pesat hingga 36,1% secara tahunan.
Jumlah ATM di Indonesia hingga kuartal III/2024 menyusut menjadi 91.173 unit, turun 1.656 unit dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Nilai transaksi ATM pun anjlok 14,52% secara tahunan (year-on-year), dari Rp628,02 triliun pada November 2023 menjadi Rp536,8 triliun pada periode yang sama tahun 2024. Fenomena ini mengundang pertanyaan penting: apakah tren ini merupakan langkah efisiensi atau justru mengancam aksesibilitas layanan perbankan?
Transformasi digital ini tidak diragukan lagi menjadi wujud adaptasi bank terhadap perubahan perilaku konsumen. Dengan 34,5 miliar transaksi digital yang tercatat sepanjang tahun 2024, bank seperti PT Bank Negara Indonesia (BNI) dan PT Bank Central Asia (BCA) berlomba-lomba menghadirkan platform digital yang inovatif. BNI, misalnya, meluncurkan aplikasi wondr by BNI yang dalam enam bulan mampu mencatat transaksi hingga Rp191 triliun. Namun, apakah lonjakan inovasi digital ini cukup untuk mengatasi konsekuensi negatif dari menurunnya jumlah ATM, terutama di wilayah pedesaan yang masih bergantung pada uang tunai?
Penurunan jumlah ATM adalah tren global. Di China misalnya, jumlah ATM turun 150.000 hingga 200.000 per tahun. Biaya operasional yang tinggi, seperti pemeliharaan, asuransi, dan sewa tempat, membuat bank harus mengambil langkah efisiensi. Data Bank Indonesia (BI) menunjukkan nilai transaksi ATM pada November 2024 turun 14,52% dibandingkan tahun sebelumnya, menjadi Rp536,8 triliun. Sementara itu, penggunaan pembayaran berbasis QRIS melonjak hingga 175,2%.
Namun, apakah langkah ini benar-benar menguntungkan semua pihak? Di kota besar, adopsi teknologi digital memang terlihat menjanjikan. Tetapi, bagaimana nasib masyarakat di daerah terpencil yang infrastruktur digitalnya masih terbatas? Apakah mereka harus dikorbankan atas nama efisiensi?
BCA bisa menjadi salah satu contoh bank yang mengambil langkah berbeda. Alih-alih memangkas jumlah ATM, bank ini justru menambah 496 unit ATM pada tahun 2024. Langkah ini menunjukkan bahwa meskipun digitalisasi berkembang, ATM tetap memainkan peran penting sebagai infrastruktur dasar layanan keuangan. Pihak BCA menyatakan, kehadiran ATM setor-tarik (CRM) membantu nasabah yang masih membutuhkan akses ke uang tunai secara fleksibel.
Langkah BCA patut diapresiasi karena menunjukkan pemahaman mendalam terhadap kebutuhan konsumen yang beragam. Namun, apakah langkah ini cukup untuk menyeimbangkan digitalisasi dengan kebutuhan akses tradisional?
Dilakukan secara inklusif
Transformasi digital memang tidak terhindarkan. Bank sentral dunia, termasuk Bank Indonesia, mendorong pengurangan penggunaan uang kartal. Namun, transformasi ini harus dilakukan secara inklusif. Bank perlu memastikan bahwa masyarakat di wilayah dengan akses digital terbatas tetap mendapatkan layanan perbankan yang layak.
Ke depan, kebijakan perbankan harus dirancang untuk menyeimbangkan efisiensi operasional dan aksesibilitas layanan. Digitalisasi memang solusi untuk menghadapi kompetisi global, tetapi inklusi tetap harus menjadi prioritas. Jika tidak, langkah ini justru berisiko menciptakan jurang kesenjangan digital yang semakin lebar.
Perbankan Indonesia berada di persimpangan jalan. Digitalisasi menawarkan efisiensi dan kenyamanan, tetapi juga menuntut komitmen untuk tidak meninggalkan mereka yang belum mampu beradaptasi.
Menurunkan jumlah ATM mungkin mengurangi biaya, tetapi konsekuensinya terhadap aksesibilitas layanan keuangan harus menjadi bahan evaluasi mendalam. Bagi perbankan, melangkah maju berarti tidak hanya mengejar profitabilitas, tetapi juga memastikan bahwa transformasi digital membawa manfaat bagi semua lapisan masyarakat.
Mesin ATM, masihkah relevan?
Di tengah masifnya digitalisasi perbankan di Indonesia, pertanyaan tentang relevansi mesin ATM kian mencuat. Tren penurunan jumlah ATM—seiring meningkatnya adopsi layanan digital—memunculkan keraguan akan masa depan infrastruktur fisik perbankan ini. Namun, tidak semua ATM layak untuk dihilangkan. Faktanya, ATM dengan teknologi modern masih memiliki peran penting dalam mendukung inklusi keuangan dan memenuhi kebutuhan masyarakat yang beragam.
Untuk tetap relevan, ATM memang harus beradaptasi dengan kebutuhan zaman. Berikut adalah beberapa teknologi yang membuat keberadaan ATM tetap signifikan:
- ATM Setor-Tarik (Cash Recycling Machine/CRM): Mesin ini mampu melakukan dua fungsi sekaligus: menarik dan menyetor uang tunai. Teknologi ini memungkinkan perbankan untuk mengurangi biaya pengelolaan uang tunai, sekaligus memberikan kemudahan bagi nasabah yang ingin menyimpan uang tanpa harus ke kantor cabang. BCA telah memanfaatkan teknologi ini, menambah lebih dari 400 unit CRM pada tahun 2024 untuk meningkatkan fleksibilitas layanan.
- ATM Berbasis Biometrik: Dengan teknologi pemindai sidik jari atau wajah, ATM modern dapat memberikan keamanan ekstra dan kenyamanan tanpa harus menggunakan kartu fisik. Inovasi ini relevan bagi masyarakat yang semakin peduli terhadap keamanan transaksi mereka.
- ATM Berteknologi NFC (Near Field Communication): Mesin ini memungkinkan pengguna untuk menarik uang tunai atau mengakses layanan lain hanya dengan mendekatkan perangkat pintar mereka, seperti smartphone atau smartwatch, ke mesin ATM. Teknologi NFC mengurangi ketergantungan pada kartu fisik dan meningkatkan kenyamanan nasabah.
- ATM Multifungsi dengan Layanan Digital: ATM modern kini dilengkapi dengan kemampuan untuk mengakses layanan yang sebelumnya hanya tersedia di cabang bank, seperti pembayaran tagihan, pembukaan rekening, atau pengelolaan kartu kredit. Mesin ini bertindak sebagai “mini-branch” yang efisien.
- ATM dengan Dukungan Multibahasa dan Aksesibilitas: Untuk mendukung inklusi keuangan, ATM harus menyediakan antarmuka multibahasa dan ramah bagi penyandang disabilitas, termasuk layar braille dan fitur suara.
Meski digitalisasi terus melaju, ATM tetap relevan sebagai solusi komplementer, terutama bagi wilayah dengan keterbatasan akses internet atau populasi yang masih bergantung pada uang tunai. Kehadiran ATM modern dapat menjadi jembatan antara layanan fisik dan digital, memastikan tidak ada segmen masyarakat yang terpinggirkan.
Namun, tidak semua ATM layak dipertahankan. ATM konvensional yang hanya menawarkan layanan tarik tunai tanpa teknologi pendukung sebaiknya digantikan dengan mesin yang lebih modern. Fokus harus diarahkan pada pengoptimalan ATM yang memiliki fitur multifungsi, keamanan tinggi, dan kemampuan untuk berintegrasi dengan ekosistem digital.
Investasi pada ATM berteknologi tinggi tentu memerlukan biaya yang signifikan. Namun, manfaat jangka panjangnya jauh lebih besar, baik dari segi efisiensi operasional maupun peningkatan pengalaman nasabah. Kolaborasi dengan penyedia teknologi finansial (fintech) juga dapat menjadi solusi untuk mempercepat modernisasi infrastruktur ATM.
Selain itu, bank perlu mengedukasi masyarakat tentang manfaat teknologi ATM modern. Keengganan masyarakat untuk beralih dari ATM tradisional seringkali disebabkan oleh minimnya pemahaman tentang fitur-fitur baru yang tersedia. ■