Cara kita berpikir tentang uang berubah dengan cepat. Pada tahun 2025, ide-ide tradisional tentang menabung, membelanjakan, dan berinvestasi akan menjadi terasa ketinggalan zaman. Dengan teknologi yang mendorong sebagian besar perubahan ini, berbagai alat dan tren baru bermunculan di mana-mana, mulai dari aplikasi bertenaga AI hingga platform keuangan terdesentralisasi. Ini bukan sekadar kata kunci yang menarik—ini membentuk kembali aturan keuangan pribadi.
Majalah Forbes pekan ini menurunkan laporan menarik, “7 New Money Trends Shaping The Future Of Wealth” yang membahas bagaimana perubahan ini menciptakan peluang dan tantangan bagi siapa pun yang ingin mengembangkan kekayaan mereka di tahun-tahun mendatang.
Benar bahwasannya revolusi teknologi tak hanya mengubah cara kita bekerja atau berkomunikasi, tetapi juga memengaruhi cara kita menyimpan, membelanjakan, dan menumbuhkan kekayaan. Di tahun 2025, kecerdasan buatan (AI), keuangan terdesentralisasi (DeFi), dan investasi berbasis nilai akan menjadi tren dominan, menawarkan peluang besar bagi mereka yang siap beradaptasi dengan perubahan. Namun, di balik peluang ini, muncul tantangan baru seperti ancaman keamanan digital dan etika penggunaan algoritma.
AI tak tergantikan
Di era digital, AI menjadi lebih dari sekadar teknologi masa depan. Alat berbasis AI kini membantu masyarakat mengelola keuangan mereka secara cerdas dan efisien. Aplikasi keuangan yang menggunakan AI, seperti robo-advisor dan alat pelacakan pengeluaran, menawarkan analisis real-time yang membantu pengguna menghindari pengeluaran berlebihan dan mengoptimalkan investasi.
Selain itu, analitik prediktif memungkinkan perencanaan keuangan yang lebih akurat, seperti memproyeksikan biaya pensiun atau beban pajak. Namun, tantangan etika tetap ada: seberapa jauh kita bisa mempercayai algoritma dalam pengambilan keputusan besar? Meskipun demikian, aksesibilitas yang ditawarkan AI mengubah eksklusivitas keahlian finansial menjadi sesuatu yang lebih inklusif.
DeFi akan jadi tantangan perbankan tradisional
Keuangan terdesentralisasi atau DeFi menawarkan alternatif bagi mereka yang kecewa dengan sistem perbankan konvensional. Menurut Bitcoin.com, kapitalisasi pasar DeFi melampaui US$100 miliar pada 2024 dan terus berkembang pesat.
Melalui DeFi, pengguna dapat menyimpan, meminjam, dan berinvestasi tanpa harus melalui bank tradisional. Produk seperti yield farming dan staking memberikan hasil yang lebih tinggi dibandingkan tabungan konvensional. Namun, stabilitas DeFi masih menjadi tantangan, meskipun regulator mulai turun tangan untuk menciptakan kerangka hukum yang lebih solid. Di tahun 2025, DeFi tak hanya menjanjikan kontrol keuangan lebih besar tetapi juga mendorong inovasi yang tak pernah terpikirkan sebelumnya.
Keuangan terdesentralisasi (DeFi) juga mulai menarik perhatian masyarakat Indonesia, terutama generasi muda yang melek teknologi. Data Chainalysis 2023 menunjukkan bahwa Indonesia berada di peringkat 7 dalam penggunaan cryptocurrency secara global. Namun, adopsi DeFi masih terbatas pada segmen tertentu karena regulasi yang belum jelas dan kurangnya pemahaman masyarakat tentang risiko.
Misalnya, pada tahun 2022, banyak investor Indonesia terjebak dalam skema Ponzi berbasis cryptocurrency. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun DeFi menawarkan potensi keuntungan besar, risiko penipuan dan volatilitas tetap menjadi tantangan utama. Peran pemerintah dalam menciptakan regulasi yang seimbang antara inovasi dan perlindungan konsumen menjadi sangat penting.
Investasi alternatif, dari seni hingga token aset
Portofolio investasi kini menjadi lebih menarik dan kreatif. Dengan platform kepemilikan fraksional, siapa pun dapat membeli sebagian kecil properti bernilai jutaan dolar atau karya seni langka. Teknologi tokenisasi membuka akses pasar yang sebelumnya hanya tersedia untuk kaum superkaya.
Bahkan, generasi muda mulai memilih investasi yang mencerminkan nilai-nilai pribadi mereka, seperti keberlanjutan lingkungan dan keadilan sosial. Tak hanya memberikan keuntungan finansial, tren ini juga menciptakan keterhubungan emosional antara investor dan aset mereka.
Di Indonesia, minat terhadap investasi alternatif seperti properti fraksional, seni digital, dan token aset mulai tumbuh. Tak sedikit platform yang memungkinkan masyarakat berinvestasi dalam properti atau bisnis dengan modal yang relatif kecil. Ini sejalan dengan tren global di mana investasi berbasis teknologi memungkinkan inklusi finansial yang lebih besar.
Namun, tantangan di Indonesia adalah kurangnya edukasi finansial. Menurut survei OJK, hanya 38% masyarakat Indonesia yang memiliki pemahaman dasar tentang investasi. Ini menyebabkan banyak orang mengambil keputusan investasi berdasarkan tren, tanpa analisis yang matang. Untuk mendorong adopsi investasi alternatif, dibutuhkan kolaborasi antara regulator, perusahaan teknologi, dan lembaga pendidikan untuk meningkatkan literasi keuangan.
Keamanan digital
Seiring dengan meningkatnya ketergantungan pada layanan keuangan digital, ancaman keamanan juga meningkat. Alat pendeteksi penipuan berbasis AI kini mampu mendeteksi aktivitas mencurigakan dalam hitungan detik, sementara otentikasi biometrik memberikan lapisan perlindungan tambahan.
Untuk pengguna cryptocurrency, dompet perangkat keras seperti Ledger Nano X menjadi standar baru dalam mengamankan aset digital. Di tengah ancaman yang semakin kompleks, keamanan digital menjadi prioritas utama untuk melindungi kekayaan di era baru ini.
Seiring dengan meningkatnya adopsi teknologi keuangan, ancaman keamanan digital juga meningkat. Indonesia menjadi salah satu negara dengan jumlah serangan siber tertinggi di Asia Tenggara. Data Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) menunjukkan bahwa pada tahun 2024, lebih dari 1,2 miliar serangan siber tercatat di Indonesia, banyak di antaranya menargetkan sektor keuangan.
Penggunaan AI dalam mendeteksi penipuan menjadi solusi yang semakin relevan. Bank Indonesia telah mendorong perbankan untuk mengadopsi teknologi biometrik dan enkripsi canggih guna melindungi data pelanggan. Namun, perlindungan keamanan digital juga membutuhkan partisipasi aktif dari masyarakat, seperti menggunakan autentikasi dua faktor dan memperbarui perangkat lunak secara berkala.
Masa depan keuangan intinya adalah adaptasi. Tren keuangan tahun 2025 menawarkan peluang besar, mulai dari investasi yang lebih inklusif hingga pendapatan tambahan dari gig economy.
Namun, keberhasilan akan bergantung pada kesiapan individu untuk memanfaatkan teknologi dan merangkul perubahan. Dunia baru ini tidak hanya untuk para investor berpengalaman, tetapi untuk siapa saja yang siap berpikir ulang tentang cara mereka menyimpan, membelanjakan, dan menumbuhkan kekayaan.
Tren global seperti AI, DeFi, dan investasi alternatif menunjukkan bahwa masa depan keuangan tidak hanya tentang menghasilkan uang, tetapi juga tentang inklusi, keberlanjutan, dan keamanan. Indonesia harus siap beradaptasi agar tidak hanya menjadi penonton, tetapi juga pemain utama dalam transformasi keuangan dunia. ■