BOOMING teknologi kecerdasan buatan (artificial inyelligence/AI), terutama AI generatif, telah meningkatkan permintaan pusat-pusat untuk menangani pemrosesan dan penyimpanan data yang sangat besar.
‘Kegilaan’ dalam kecerdasan buatan sejauh ini terfokus pada chip buatan Nvidia (NVDA.O) dan aplikasi seperti ChatGPT milik OpenAI. Tak heran bila kegilaan ini memicu upaya membangun infrastruktur yang dibutuhkan untuk melatih dan menjalankan model AI generatif (GenAI).
CEO Nvidia Jensen Huang memprediksi, uang yang diinvestasikan pada pusat-pusat data ini akan berlipat ganda menjadi US$$2 triliun dalam lima tahun ke depan [2029]. Namun, kemampuan dunia untuk membangun, menyediakan daya, dan mendinginkan fasilitas-fasilitas ini akan menentukan batas fisik dari pertumbuhan pesat ini.
Manifestasi nyata dari perebutan AI terlihat jelas di wilayah Northumberland di Inggris utara. Di sanalah Blackstone, pemilik real estat komersial terbesar di dunia, pada bulan Mei lalu membeli lahan seluas 95 hektar dengan rencana untuk menghabiskan 10 miliar pound (US$13 miliar) untuk membangun salah satu kampus pusat data terbesar di Eropa.
Lokasi terbengkalai tersebut, seperti diberitakan Reuters, dulunya merupakan tempat pembangkit listrik, merupakan lokasi pertama yang akan disambungkan ke listrik. Namun, hal itu bergantung pada negosiasi dengan National Grid Inggris, dan izin perencanaan dari pemerintah setempat.
Bangunan seperti gudang yang menampung server dan chip ini diukur berdasarkan permintaan listriknya. Pusat data yang disebut “hyperscaler”, akan digunakan untuk penyimpanan data dan layanan komputasi awan, biasanya memiliki kapasitas 20 hingga 50 megawatt.
Kedatangan GenAI berarti daya pemrosesan yang lebih besar yang membutuhkan lebih banyak listrik. Pencarian teks ChatGPT menghabiskan daya yang dimiliki pencarian Google adalah 10 kali lebih besar, sementara menghasilkan gambar menggunakan model GenAI dapat menghabiskan energi sebanyak setengah pengisian daya ponsel pintar.
Operator pusat data kini tengah merencanakan dan membangun fasilitas dengan kapasitas 200 hingga 500 MW. Analis Morgan Stanley memperkirakan biaya pembangunan kampus sebesar US$10 juta per megawatt.
Pusat data, termasuk yang digunakan untuk menambang mata uang kripto, menyedot sekitar 460 terawatt jam (TWh), atau 2% dari permintaan listrik global pada tahun 2022, menurut Badan Energi Internasional. Di Eropa, analis Morgan Stanley memperkirakan mereka akan menyumbang 4% permintaan listrik pada tahun 2035, naik dari 1% dibandingkan saat ini.
Namun, di beberapa wilayah, angkanya jauh lebih tinggi. Irlandia, yang merupakan rumah bagi banyak perusahaan teknologi besar, telah melihat proporsi listrik yang dikonsumsi oleh pusat data meningkat dari 5% pada tahun 2015 menjadi 18% pada tahun 2022.
Angka tersebut diproyeksikan oleh EirGrid mencapai 28% pada tahun 2031, yang mendorong perusahaan utilitas negara untuk memberlakukan moratorium pada pusat data baru hingga tahun 2028.
Pada tahun 2033, analis Goldman memperkirakan pusat data AI akan menambah permintaan daya sebesar 370 TWh secara global, yang setara dengan konsumsi daya gabungan di Inggris Raya dan Belanda pada tahun 2023.
Salah satu solusi yang mungkin adalah membangun pusat data di kawasan seperti Skandinavia, yang jumlah penduduknya lebih sedikit, beriklim lebih sejuk, dan memiliki banyak tenaga air. Namun, pemerintah di sana bersikap hati-hati. Swedia, yang pernah dianggap sebagai tujuan utama para penambang bitcoin di Eropa, menghapuskan insentif pajak untuk pusat data tahun lalu, dan mulai mengenakan pajak tambahan per kilowatt hour (kWh).
Rencana tahun 2017 untuk membangun pusat data berkapasitas 1.000 MW – yang terbesar di dunia – di Norwegia gagal setelah pemerintah mengubah aturan mengenai keringanan bagi penambang mata uang kripto.
Pusat data raksasa di lokasi terpencil dapat melakukan sejumlah besar kalkulasi yang diperlukan untuk melatih model AI. Namun, jika menyangkut penggunaan aplikasi seperti ChatGPT, kedekatan fisik menjadi hal penting. Pengguna yang berjarak 100 km dari server aplikasi AI akan menerima respons yang lebih lambat daripada pengguna yang berjarak 10 km.
ByteDance, perusahaan induk dari aplikasi media sosial TikTok, belum lama ini mengumumkan akan menginvestasikan sekitar 10 miliar ringgit (sekitar Rp34,68 triliun) di Malaysia untuk mendirikan pusat kecerdasan buatan (AI).
Microsoft dan OpenAI dilaporkan sedang menggarap proyek pembangunan pusat data yang diperkirakan akan memakan biaya hingga US$ 100 miliar, termasuk pengembangan superkomputer kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) yang disebut Stargate.
Dilansir dari Reuters (30/3), superkomputer AI tersebut direncanakan akan diluncurkan pada 2028. Superkomputer yang diusulkan akan berbasis di Amerika Serikat (AS) dan akan menjadi yang terbesar dalam proyek yang direncanakan kedua perusahaan terebut.
Di Indonesia, PT Telkom Indonesia (Persero) Juni lalu menyebutkan nilai investasi dalam pembangunan pusat data (data center) berbasis Artificial Intelligence (AI) di Kota Batam, Kepulauan Riau mencapai Rp1,4 triliun hingga 5 tahun mendatang. ■