digitalbank.id — DIGITAL TRANSFORMATION IS culture-driven, not technology-driven. Demikian bunyi sebuah hasil penelitian tentang transformasi digital. Riset ini menunjukkan bahwa halangan terbesar dalam transformasi digital adalah budaya perusahaan yang sulit berubah padahal transformasi digital dipengaruhi terutama oleh budaya, bukan teknologi.
Faktor budaya inilah agaknya yang secara serius ditangani oleh manajemen PT. Bank Digital BCA (BCA Digital). Sejak diakuisisi oleh PT Bank Central Asia , BCA Digital yang dahulunya bernama Bank Royal telah menerapkan budaya kerja yang unik dengan menggabungkan budaya kerja korporat dan pola pikir startup. Sebagai anak usaha BCA, tentunya BCA Digital harus patuh pada berbagai regulasi di sektor keuangan. Namun di sisi lain, BCA Digital juga harus agile dan cepat beradaptasi dalam memenuhi kebutuhan konsumen dan bisnis.
“BCA Digital kan setengah startup dan setengah korporat. Dua elemen itu ada dalam budaya kerja BCA Digital. Kita ada di sektor perbankan, sehingga banyak regulasi yang harus ditaati. Jadi tetap ada pagar-pagarnya, ada SOP yang harus diikuti. Tetapi di sisi lain, target kita sebagai startup sangat ambisius. Inisiatif itu harus cepat direalisasikan,” kata Representatif People and Culture BCA Digital Syalinda Citra.
Di BCA Digital, tidak ada birokrasi yang panjang untuk merealisasikan ide-ide bisnis. Bila sesuai dengan visi dan misi BCA Digital, ide tersebut bisa langsung dieksekusi.
“Mungkin kalau di Bank BCA kan organisasinya sudah sangat besar, sehingga untuk birokrasinya lumayan panjang. Karena BCA Digital ini masih kecil, usianya juga baru 1,5 tahun, jadi tidak ada birokrasi yang panjang. Kalau punya ide, bisa langsung dilempar ke floor. Kalau cocok, bisa langsung dieksekusi. Kita juga memakai framework agile, di mana perusahaan harus cepat beradaptasi dengan kebutuhan konsumen dan bisnis,” kata Citra.
Karenanya, selain harus memiliki passion serta visi dan misi yang sama dengan BCA Digital, pegawai di BCA Digital juga harus memiliki growth mindset. Sebagai perusahaan baru, BCA Digital membutuhkan orang-orang yang inovatif dan mau meninggalkan legacy, menciptakan sesuatu dari yang tidak ada menjadi ada.
“Di BCA Digital, kesempatan untuk merealisasikan ide-ide sangat besar. Jadi mungkin sesi trial and error-nya lebih besar, karena memang kita mau coba terus. Kalau gagal, ya dicoba lagi. Kalau ketemu masalah, tidak fokus di masalah itu, tetapi fokus ke solusinya untuk memperbaiki. Makanya selain agile dan adaptif terhadap kebutuhan nasabah, pegawai di BCA Digital juga harus punya growth mindset,” kata Citra.
Berbagai program pengembangan karyawan juga terus dilakukan BCA Digital. Pada 2022 nanti, selain merekrut banyak pegawai baru hampir dua kali lipat dari jumlah pegawai saat ini yang mencapai lebih dari 200, BCA Digital juga akan membuat program-program pelatihan untuk para fresh graduate. Kegiatan ini dilakukan bekerja sama dengan Bank BCA.
Cukup Maju
Apa yang dilakukan BCA Digital boleh jadi sebuah usaha yang cukup maju. Mengubah budaya secara drastis, menurut pakar transformasi digital Bayu Prawira Hie, itu bagaikan melakukan uninstall operating system dalam suatu komputer dan kemudian melakukan instalasi operating system yang baru dan berbeda. Selain lama, banyak hal yang bisa terjadi, misalkan proses uninstall tidak bisa menghapus semua files, operating system yang baru tidak kompatibel dengan spesifikasi hardware yang ada, dan sebagainya.
Pada survei yang dilakukan terhadap berbagai perusahaan di seluruh dunia, didapatkan bahwa responden mengakui bahwa hambatan terbesar di perusahaan mereka dalam bertransformasi digital adalah hambatan budaya. Kedua adalah adanya aplikasi dan sistem IT lama yang sudah tidak memadai lagi namun tetap dipakai karena berbagai sebab. Di urutan ketiga adalah kurangnya keterampilam digital dari para karyawan dan urutan keempat adalah kurangnya visi pemimpin yang jelas dalam transformasi digital. (SAF)