digitalbank.id – Pasca Mark Zuckerberg mengumumkan mengganti nama Facebook menjadi Meta Platforms Inc. atau Meta pada 28 Oktober 2021 lalu, metaverse tiba-tiba menjadi topik paling aktual dan banyak dibicarakan orang di muka bumi ini.
Padahal, dunia virtual macam metaverse ini sudah lama ada. Lihat saja dunia virtual Second Life yang diciptakan pada tahun 2003 oleh Linden Lab, perusahaan yang berbasis di San Fransisco, AS dan sampai hari ini masih beroperasi. Pada tahun 2013, Second Life memiliki sekitar satu juta pengguna reguler; pada akhir tahun 2017, jumlah pengguna aktif diperkirakan berkisar antara 800.000-900.000 user.
Lalu kenapa metaverse tiba-tiba menjadi sesuatu yang wah? Tak lain karena yang bicara adalah pendiri Facebook [menurut laman Statista, Facebook adalah media sosial paling populer yang punya 2,85 miliar pengguna harian], metaverse menjadi seperti magnet dengan daya tarik yang sangat besar.
Menurut Mark, kualitas yang menentukan dari metaverse adalah perasaan kehadiran seperti Anda berada di sana bersama orang lain atau di tempat lain.
“Merasa benar-benar hadir dengan orang lain adalah impian utama teknologi sosial. Itulah mengapa kami fokus membangun metaverse,” kata Mark Zuckerberg dalam pesannya di founder’s letter Meta.
Lalu, berapa lama lagi metaverse ini akan menjadi bagian dari kehidupan banyak manusia? Jawabannya: tak lama lagi!
Prediksi itu setidaknya diungkapkan pendiri Microsoft, Bill Gates seperti dilansir Fortune. Dia memprediksi dalam 2-3 tahun mendatang rapat-rapat kantor juga akan diadakan di metaverse.
“Dalam dua atau tiga tahun ke depan, saya memperkirakan sebagian besar pertemuan virtual akan berpindah dari kisi gambar kamera 2D ke metaverse, sebuah ruang 3D dengan avatar digital,” ujar Gates hanya berselang benerapa hari setelah Google dan Meta (Facebook) memutuskan kembali memberlakukan work from home pada 2022 karena munculnya varian omicron yang membuat pandemi Covid-19 belum bisa dipastikan kapan akan berakhir.
Gates percaya, dibanding bertemu secara langsung di ruang kantor, rapat menggunakan avatar untuk interaksi dan dilengkapi dengan teknologi motion capture serta audio spasial membuat metaverse terasa seperti kehidupan nyata.
Tren metaverse di perbankan
Tren itu juga mulai tumbuh di industri perbankan. Di Korea Selatan, Industrial Bank of Korea, bank industri milik pemerintah yang berpusat di Jung-gu, Seoul, Korsel, berencana meluncurkan metaverse platform media sosial Cyworld Z.
Platform media sosial itu menggunakan mata uang virtualnya sendiri “Dotori”. IBK ingin mendirikan IBK Dotori Bank di metaverse, yang akan meluncurkan produk keuangan yang disederhanakan untuk pengguna Cyworld Z. Salah satu produk tersebut adalah buku tabungan Dotori yang akan memberi reward kepada penggunanya sesuai dengan jumlah Dotori yang mereka beli.
Tak ketinggalan bank-bank besar lainnya seperti KB Kookmin, NH Nonghyup dan Hana Bank juga berencana bergerak ke arah metaverse.
NH Nonghyup Bank menargetkan Maret 2022 meluncurkan “NH Dokdo-verse,” yang merupakan replika metaverse dari Pulau Dokdo. Bank ini punya misi membawa klien lebih dekat ke pulau yang sulit untuk dikunjungi dalam kehidupan nyata.
Pengunjung Dokdo akan dapat bermain game seperti memancing dan membeli properti di pulau itu. NH Nonghyup Bank telah secara aktif mempromosikan Pulau Dokdo, sebuah wilayah di bawah kendali Korea Selatan, yang ditentang oleh Jepang selama bertahun-tahun. Lantaran pulau yang indah ini hubungan Korsel dan Jepang dibayangi perselisihan selama lebih 300 tahun.
Lalu ada lagi KB Kookmin Bank juga berencana membuka kantor cabang virtual di metaverse. Saat ini KB Kookmin tengah menguji teknologi metaverse sebagai saluran utama untuk layanan keuangannya. KB juga mengatakan akan bereksperimen dengan platform game online Roblox. Lantas ada Hana Bank yang menyusun semacam gugus tugas (task force) untuk inovasi digital, di mana metaverse juga masuk di dalamnya.
Bank of America belum lama ini juga telah mengumumkan bahwa mereka akan meluncurkan pelatihan virtual reality (VR) untuk karyawannya di hampir 4.300 pusat keuangan di seluruh negeri.
Baca juga: Sri Mulyani menilai perkembangan teknologi digital adalah ancaman bagi yang tak melek teknologi
Setiap pusat keuangan di jaringannya akan menggunakan headset VR untuk melatih berbagai keterampilan termasuk di antaranya memperkuat dan memperdalam hubungan dengan klien, menavigasi percakapan yang sulit, dan mendengarkan serta menanggapi dengan empati.
Melalui analitik real-time yang tertanam dalam teknologi ini para manajer juga dapat mengidentifikasi kesenjangan keterampilan dan memberikan pembinaan tindak lanjut yang ditargetkan dan panduan yang dipersonalisasi kepada rekan satu tim untuk lebih meningkatkan kinerja tim.
Bank lain yang menggunakan VR atau augmented reality (AR) adalah BNP Paribas, yang meluncurkan aplikasi virtual reality yang memungkinkan pengguna perbankan ritel mengakses aktivitas akun dan catatan transaksi mereka di lingkungan VR. Bank of Kuwait juga yak ketinggalan memanfaatkan VR dalam merancang cabang baru. Lalu ada Citi yang telah menjajaki program dengan memanfaatkan stasiun kerja holografik untuk financial trading.
Metaverse dapat digambarkan sebagai internet yang dihidupkan, atau setidaknya ditampilkan dalam 3D. Pada dasarnya, ini adalah dunia komunitas virtual yang tak berujung dan saling berhubungan di mana orang dapat bertemu, bekerja, dan bermain, kacamata augmented reality, aplikasi smartphone, atau perangkat lain.
Interaksi virtual dengan pelanggan
Mungkin contoh paling jelas di mana metaverse dapat memengaruhi perbankan adalah dalam interaksi pelanggan. Banyak bank telah menawarkan layanan video tatap muka dengan nasabah dan menggunakan mesin teller interaktif menggunakan konektivitas video dan fungsionalitas yang lebih kuat daripada ATM. Namun ke depan melayani pelanggan di dunia virtual akan menjadi satu kemutlakan. Dan, meteverse adalah jawabannya.
Buktinya, riset terbaru yàng dipublikasikan Digital Banking Report menemukan bahwa hampir setengah dari eksekutif layanan keuangan yang disurvei percaya bahwa 1 dari 5 pelanggan akan menggunakan teknologi virtual atau augmented reality untuk transaksi sehari-hari.
Ruang virtual sangat ideal untuk interaksi pelanggan atau nasabah bank karena tidak dibatasi oleh ruang fisik. Lantaran makin banyak penyedia layanan keuangan secara bertahap bergerak ke arah perbankan digital, gagasan tentang bank virtual dalam dunia metaverse tampaknya bukanlah hal yang mengada-ada. Ini satu keniscayaan.
Di metaverse nasabah bank mendapatkan layanan perbankan yang dipersonalisasi pada kenyamanan rumah para nasabah. Mereka bisa melakulan aktivitas perbankannya sambil menikmati secangkir kopi atau teh di rumah dengan sentuhan yang sangat personal.
Pelanggan akan mendapatkan layanan mereka kapan saja, di mana saja dan bank akan dapat mengurangi biaya karena mereka tidak perlu berinvestasi di lokasi fisik. Kira-kira seperti itulah, metaverse memang masa depan perbankan.
Lantas, bagaimana dengan perbankan di Tanah Air? Dipastikan juga akan mengarah ke sana. Waktunya tak lama lagi, sebab metaverse ini bak ‘penggenapan’ dari proses transformasi digitalisasi perbankan. Rencana besar bank digital adalah metaverse. Kalau bank-bank yang saat ini tengah bertransformasi menjadi bank digital boleh diibaratkan sebagai kepompong, dia tak akan bisa berubah menjadi kupu-kupu yang cantik bila tidak ‘bermetaverse’. Ini persoalan waktu saja dan waktu juga yang akan menjawabnya. (HAN)