digitalbank.id – PERSAINGAN BANK DIGITAL yang ada saat ini, adalah pertempuran di arena yang lama dan sama, tapi dengan cara baru, yaitu adu ketangkasan aplikasinya.
Semua peperangan itu, dimulai ketika masuknya raksasa teknologi seperti Amazon, Alibaba, Google dan facebook yang ditandai dengan investasi besar-besaran di perusahaan start up lokal.
Ekspansi perusahaan teknologi di bisnis keuangan makin masif ketika investor global dan lokal pun ikut nimbrung di bisnis e-commerce dan perbankan.
Kolaborasi habis-habisan untuk menciptakan ekosistem yang besar pun, terus dilakukan oleh bank digital bersama perusahaan fintech, perusahan asuransi, consumers good, e-commerce dan perusahaan berbasis digital lainnya.
Baca juga: Leadership jadi faktor utama rendahnya digital maturity perbankan kita
Persaingan untuk merebut nasabah sebanyak-banyaknya, adalah inti dari pertempuran di arena yang sama sejak dulu. Hanya saja, orientasi pelayanan nasabah, kini tengah berubah. Tren kecepatan, kemudahan, dan pelayanan yang terintegrasi atau one stop service di satu aplikasi, kini menjadi andalan.
Menurut ekonom senior, Aviliani, akan ada tiga model perbankan yang akan menjalani model bisnisnya. Yang pertama adalah bank konvensional yang hanya akan melengkapi dirinya dengan tambahan platform digital supaya mudah diakses. Bank model begini, tidak terpisah dengan induknya.
Lalu ada juga bank yang punya dua kaki, di satu sisi induknya tetap ada, di sisi lain bank ini membentuk bank digital untuk melayani nasabah yang sudah acceptable terhadap teknologi, misalnya generasi melenial, generasi Z yang lebih menuntut kecepatan dan sifatnya praktis cara bertransaksinya.
Bank model begini, lanjut Aviliani lagi, masih bisa melayani kelompok baby boomers karena kelompok ini umumnya masih konvensional, gagap teknologi, tapi secara finansial jauh lebih mapan dari kelompok lainnya. Tabungan jumbo di atas Rp5 miliar dari kelompok ini, tentu saja masih menjadi incaran bank konvensional.
Baca juga: “Perkawinan” AI, blockchain, cloud computing dan big data lahirkan WeBank
Model terakhir, adalah bank digital yang hanya menjadi platform-nya saja. Pada kenyataan prakteknya, bank ini akan lebih beroperasi lewat fintech berupa peer to peer landing (P2P) dan bekerja sama dengan e-commerce baik yang menjadi ekosistemnya atau pun di luar ekosistem.
Memang seperti diakui pula oleh pihak Perbanas, bagaimana pun, keberadaan bank konvensional masih dibutuhkan di tengah pesatnya teknologi digital saat ini. Menurutnya masih banyak orang yang belum sepenuhnya melek teknologi. Apalagi, infrastruktur teknologi digital belum merata di seluruh Indonesia.
Boleh jadi kesenjangan antar generasi dan ketimpangan teknologi yang dipaparkannya nyata. Tapi, toh, masyarakat di kota-kota besar, umumnya kaum muda, kini berbondong-bondong mulai menggunakan bank digital yang sudah beroperasi.
Menurut hasil survei Mckinsey, kini 25 % dari jumlah orang dewasa di sini, sudah menggunakan bank digital. Disebutnya, Indonesia menempati urutan ke-2 dari 30 negara berkembang dalam hal penggunaan bank digital.
Baca juga: Bank digital sebagai pandemic native, sebuah survei
Bisa jadi benar, contohnya Neo Bank saja mengakui banknya sudah diunduh sebanyak 10 juta dan tidak kurang dari 2 juta nasabah aktif tiap bulannya. Belum lagi bank digital lain, seperti Bank Jago, DBS, BCA Blu, Allo Bank dan deretan bank digital lainnya.
Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo menyebutkan, pertumbuhan bank digital hingga September 2021, naik hingga 46,72% YoY dan akan terus tumbuh hingga akhir tahun dengan capaian Rp 30,310 triliun.
Sebuah angka yang boleh dibilang fantastis dan ikut mendongkrak pemulihan ekonomi Indonesia. Nampaknya persaingan antar bank digital bakal semakin sengit. Rebutan pelayanan nasabah, di arena lama, tapi dengan cara yang baru. (LUK).