
Seorang direktur keuangan nyaris kehilangan dana perusahaan sebesar US$499.000 akibat penipuan canggih yang melibatkan teknologi deepfake. Pelaku menyamar sebagai para eksekutif perusahaan lewat video conference palsu. Penipuan ini baru terungkap setelah permintaan dana tambahan sebesar US$1,4 juta muncul. Kolaborasi cepat antara polisi Singapura dan Hong Kong berhasil menyelamatkan dana yang sempat ditransfer.
Fokus utama:
- Modus baru penipuan bisnis dengan memanfaatkan teknologi deepfake untuk menyamar sebagai petinggi perusahaan.
- Kronologi penipuan lintas negara yang nyaris merugikan perusahaan multinasional ratusan ribu dolar.
- Tindakan cepat kepolisian Singapura dan Hong Kong dalam menyelamatkan dana serta peringatan terhadap dunia usaha.
Dunia korporat kini menghadapi tantangan baru dalam keamanan digital: penipuan yang melibatkan deepfake. Seorang direktur keuangan sebuah perusahaan multinasional hampir saja mengirimkan dana sebesar US$499.000 ke rekening sindikat kriminal yang menyamar sebagai para petinggi perusahaan melalui video conference palsu.
Kepolisian Singapura mengungkapkan kasus ini dalam pernyataan pada 7 April 2025 lalu dan menyebut keterlibatan teknologi manipulasi digital sebagai bagian dari skema penipuan bisnis lintas negara. Dengan bantuan dari Anti-Deception Coordination Centre (ADCC) di Hong Kong, dana yang nyaris lenyap berhasil diselamatkan.
Insiden dimulai pada 24 Maret 2025 ketika sang direktur menerima pesan WhatsApp dari seseorang yang mengaku sebagai Chief Financial Officer (CFO) perusahaannya. Dalam percakapan itu, ia diminta mengikuti rapat video pada 26 Maret 2025 terkait “restrukturisasi bisnis regional” dan juga diminta untuk berkoordinasi dengan mitra hukum eksternal.
Keesokan harinya, korban menerima telepon dari pria yang menyamar sebagai pengacara dan menekankan pentingnya proyek serta kerahasiaannya. Korban kemudian menandatangani perjanjian non-disclosure (NDA).
Namun, pada 25 Maret, jadwal rapat diubah secara mendadak. Rapat digelar melalui Zoom dengan menghadirkan tokoh-tokoh yang tampak seperti CEO dan sejumlah eksekutif lain—semuanya ternyata hasil rekayasa teknologi deepfake.
Setelah mengikuti rangkaian komunikasi tersebut, korban diarahkan oleh “pengacara” palsu untuk mentransfer dana US$499.000 dari rekening perusahaan di HSBC ke sebuah rekening korporasi lokal. Tanpa menyadari bahwa rekening tersebut dikendalikan oleh sindikat kejahatan, transaksi dilakukan pada 26 Maret.
Dari rekening lokal tersebut, dana segera dialirkan ke sejumlah rekening bank di Hong Kong, sejumlah lebih dari US$494.000. Sisanya sekitar US$5.000 masih tersisa di rekening lokal.
Penipuan baru terbongkar pada 27 Maret ketika si penipu kembali meminta dana tambahan sebesar US$1,4 juta. Kecurigaan korban pun muncul, dan ia segera melapor ke HSBC. Bank merespons cepat dan menghubungi Anti-Scam Centre (ASC) di Singapura.
Berbekal informasi dari HSBC, ASC melakukan pelacakan dana dan meminta bantuan dari ADCC di Hong Kong. Pada 28 Maret, ADCC berhasil membekukan seluruh dana yang telah ditransfer ke Hong Kong. ASC juga berhasil menyita sisa dana di rekening lokal yang sempat digunakan.
Menurut polisi, kasus ini menjadi peringatan keras bagi pelaku bisnis di Singapura dan kawasan Asia tentang ancaman nyata penggunaan teknologi manipulatif seperti deepfake dalam dunia keuangan.
“Perusahaan perlu segera menyusun protokol verifikasi untuk memastikan keabsahan video call dan instruksi pengiriman dana, terutama jika berasal dari eksekutif senior,” tulis polisi dalam pernyataannya seperti dikutip The Straits Times.
Kepolisian juga mengingatkan karyawan agar selalu waspada terhadap instruksi mendadak atau transfer dana besar. “Selalu konfirmasi melalui jalur komunikasi resmi atau langsung dengan pihak terkait,” tambah mereka.
Tahun 2024 mencatatkan kerugian terbesar akibat penipuan di Singapura, dengan nilai mencapai S$1,1 miliar atau sekitar US$815 juta. Dari total tersebut, hampir 25% melibatkan aset kripto—lonjakan signifikan dibandingkan 6,8% pada tahun sebelumnya.
Penipuan berbasis teknologi seperti deepfake diperkirakan akan meningkat tajam seiring semakin mudahnya akses dan kemampuan AI dalam memalsukan gambar, suara, dan video. Menurut laporan Europol, penyalahgunaan deepfake dalam kejahatan digital telah menjadi perhatian serius di seluruh dunia, termasuk dalam skenario penipuan bisnis dan manipulasi identitas.
Kasus ini menjadi alarm bagi korporasi global. Dalam era teknologi canggih, ketelitian dan keamanan prosedural bukan lagi pilihan, tapi keharusan. Langkah-langkah pencegahan harus dikedepankan, termasuk edukasi kepada karyawan soal modus penipuan terkini. ■