
Tanpa banyak gembar-gembor, Malaysia tengah membangun fondasi revolusi keuangan digital berbasis blockchain melalui tokenisasi simpanan bank. Pendekatan hati-hati namun strategis ini berpotensi menjadi model global integrasi teknologi blockchain dalam sistem keuangan konvensional tanpa mengorbankan stabilitas.
Fokus utama:
- Pendekatan strategis Malaysia terhadap tokenisasi simpanan sebagai inovasi keuangan berbasis blockchain.
- Kolaborasi antara sektor swasta dan regulator dalam mengembangkan kerangka kerja tokenisasi dan CBDC.
- Posisi Malaysia dalam peta global sebagai pionir integrasi teknologi blockchain ke dalam sistem keuangan tradisional.
Ketika sebagian besar dunia masih terpaku pada fluktuasi harga kripto dan hiruk-pikuk ETF, Malaysia memilih jalur sunyi namun revolusioner. Lewat strategi integratif yang melibatkan sektor swasta dan otoritas keuangan, negeri jiran ini tengah membangun kerangka keuangan digital yang bisa menjadi cetak biru masa depan perbankan Asia.
Di tengah sorotan global terhadap Bitcoin dan persaingan antar-ETF, Malaysia mengambil langkah diam-diam tapi strategis: mengintegrasikan teknologi blockchain ke dalam sistem perbankan melalui tokenisasi simpanan bank. Dalam laporan tahunan terbarunya, Bank Negara Malaysia (BNM) mengungkapkan bahwa mereka tengah aktif menjajaki pemanfaatan teknologi blockchain untuk penyelesaian transaksi secara on-chain, berfokus pada tokenisasi simpanan sebagai pendekatan awal.
Berbeda dengan pendekatan spekulatif yang lazim di dunia kripto, tokenisasi simpanan menawarkan keseimbangan unik. Instrumen ini didukung oleh dana nyata yang tersimpan di bank, tetapi memiliki keunggulan teknologi seperti penyelesaian instan dan transaksi terprogram. Bagi BNM, ini adalah jembatan menuju masa depan keuangan digital yang lebih efisien—tanpa mengguncang kepercayaan publik pada sistem yang sudah mapan.
“Tujuan kami adalah memastikan bahwa kami menyediakan platform yang tepat untuk inovasi ini terjadi, lengkap dengan pedoman dan pengaman yang sesuai,” ujar Gubernur BNM Abdul Rasheed Ghaffour, menegaskan pendekatan kehati-hatian yang ditempuh bank sentral seperti dilansir coinfomania.com.
Langkah ini juga bukan sekadar wacana. Sektor swasta Malaysia telah menunjukkan potensi nyata dari tokenisasi. Sebuah perusahaan lokal berhasil mentokenisasi properti senilai US$23 juta, menjadi bukti konkret bahwa teknologi ini bisa melampaui sekadar teori dan mewujudkan efisiensi di dunia nyata.
BNM kini bekerja sama erat dengan Securities Commission Malaysia untuk menyusun dokumen diskusi yang akan dirilis tahun ini, sebagai pijakan regulasi yang matang. Strategi kolaboratif ini mencerminkan komitmen Malaysia dalam membangun ekosistem blockchain yang terstruktur, alih-alih mengejar euforia sementara.
Lebih jauh lagi, BNM juga telah mengembangkan Central Bank Digital Currency (CBDC) untuk skala wholesale, berbeda dengan model ritel yang menghadapi tantangan adopsi publik. CBDC wholesale ditujukan untuk mempercepat transaksi antar-lembaga keuangan—menjadi tulang punggung modernisasi infrastruktur keuangan.
Blockchain di Malaysia juga dilirik untuk inisiatif nasional lainnya, mulai dari sistem identitas digital yang antikorupsi hingga sistem keamanan data publik. Tren ini sejalan dengan langkah global seperti proyek identitas digital berbasis blockchain di Uni Eropa yang sedang dikerjakan PwC Italia dan diproyeksikan menjangkau 450 juta orang.
Namun, Malaysia tetap menarik garis tegas: mata uang kripto tidak akan diakui sebagai alat pembayaran sah. Meskipun demikian, pemerintah tidak menutup mata terhadap manfaat teknologi yang menopangnya. Data menunjukkan bahwa pada 2024, transaksi aset digital di Malaysia mencapai lebih dari US$3 miliar—melonjak lebih dari dua kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya.
Pendekatan Malaysia ini mungkin tak memikat perhatian seperti lonjakan harga Bitcoin, tetapi memiliki daya transformasi jangka panjang. Dengan menitikberatkan pada simpanan yang ditokenisasi dan infrastruktur keuangan berbasis blockchain, Malaysia bisa jadi tengah menulis ulang buku panduan global dalam menghadapi era digitalisasi sistem keuangan. ■