Dunia perbankan dan transportasi Jepang dikejutkan oleh gangguan besar yang diduga berasal dari serangan siber. Dalam waktu yang hampir bersamaan, MUFG Bank dan Japan Airlines melaporkan kerentanan sistem mereka, menandakan ancaman nyata bagi infrastruktur digital negara tersebut.
Megabank Jepang, MUFG Bank, menghadapi gangguan besar pada layanan perbankan internetnya pada Kamis (26/12). Masalah yang dimulai pukul 14:47 waktu setempat ini diduga kuat sebagai hasil dari serangan siber. Dalam pernyataannya, pihak bank mengungkapkan adanya “arus data yang masif” yang mengganggu sistem mereka.
“Tidak ada kebocoran data pelanggan ataupun kerusakan yang disebabkan oleh virus komputer,” tegas MUFG, unit utama Mitsubishi UFJ Financial Group Inc. Namun, pelanggan melaporkan kesulitan mengakses layanan online, termasuk keterlambatan dalam transaksi internet.
MUFG bukan satu-satunya korban. Pada hari yang sama, jaringan Japan Airlines (JAL) juga dilaporkan mengalami serangan siber yang menyebabkan penundaan penerbangan di tengah musim liburan Tahun Baru, salah satu periode perjalanan tersibuk di Jepang. Sistem penerbangan JAL baru dapat dipulihkan beberapa jam setelah kejadian.
Gangguan ini menyoroti kerentanan yang meningkat dalam infrastruktur digital Jepang, yang menjadi target empuk di tengah peningkatan aktivitas siber global. Menurut laporan World Economic Forum 2024, serangan siber pada sektor perbankan dan transportasi global meningkat lebih dari 40% dalam tiga tahun terakhir.
MUFG Bank adalah bank terbesar di Jepang dan salah satu bank terbesar di dunia dengan total aset mencapai $3,2 triliun. Sebagai pemimpin di industri perbankan, gangguan seperti ini tidak hanya memengaruhi kepercayaan pelanggan, tetapi juga memunculkan pertanyaan besar tentang kesiapan industri menghadapi serangan digital.
Pakar keamanan siber memperingatkan bahwa serangan siber yang berhasil menargetkan pemain besar seperti MUFG bisa memengaruhi stabilitas keuangan di tingkat global. “Serangan semacam ini bukan hanya ancaman teknis tetapi juga ancaman strategis yang dapat melumpuhkan infrastruktur keuangan negara,” ujar Dr. Takeshi Nakamura, peneliti senior di Japan Institute for Cybersecurity Studies.
Japan Airlines, maskapai penerbangan terbesar kedua di Jepang, juga menjadi korban serangan siber. Penundaan penerbangan di tengah musim liburan memengaruhi ribuan penumpang. Serangan ini memperparah reputasi maskapai di saat industri penerbangan global sedang berjuang untuk pulih dari dampak pandemi COVID-19.
Maskapai ini belum memberikan rincian apakah serangan tersebut melibatkan pencurian data atau hanya mengganggu sistem operasional. Namun, gangguan tersebut mencerminkan perlunya peningkatan keamanan digital di sektor transportasi yang semakin bergantung pada teknologi.
Beberapa laporan mengaitkan serangan ini dengan kelompok peretas internasional yang sebelumnya terlibat dalam pencurian aset kripto dari DMM Bitcoin. Beberapa sumber juga mencurigai keterlibatan Lazarus Group, kelompok peretas asal Korea Utara yang dikenal dengan serangan skala besar terhadap sektor keuangan global.
Namun, pihak berwenang Jepang belum memberikan konfirmasi resmi mengenai identitas pelaku. Investigasi lebih lanjut sedang berlangsung, dengan fokus pada pola dan teknik yang digunakan dalam serangan ini.
Langkah proaktif untuk mitigasi risiko
Insiden ini menjadi peringatan bagi pemerintah Jepang untuk meningkatkan infrastruktur keamanan siber. Dengan anggaran rekornya sebesar 115,5 triliun yen untuk tahun fiskal 2025, pemerintah berencana untuk memperkuat sektor digital melalui investasi besar dalam teknologi pertahanan siber dan pelatihan SDM.
Langkah-langkah tersebut sejalan dengan laporan McKinsey 2023 yang menyebutkan bahwa keamanan siber kini menjadi salah satu prioritas utama bagi ekonomi maju, terutama di sektor keuangan dan transportasi.
Serangan yang dialami MUFG Bank dan Japan Airlines menjadi sorotan internasional, mengingat peran penting Jepang dalam ekonomi global. Kejadian ini menekankan pentingnya kolaborasi global untuk menangani ancaman siber yang semakin kompleks.
Dengan meningkatnya ketergantungan pada teknologi digital, serangan seperti ini dapat terjadi di mana saja dan kapan saja. Jepang, bersama dengan negara lain, perlu mengambil langkah konkret untuk memastikan keamanan digital di era modern. ■