Euforia sudah berakhir, tahun 2025 adalah era utilitas AI

- 18 Desember 2024 - 09:01

Pemimpin dunia bisnis bersiap menghadapi tahun transformatif untuk kecerdasan buatan (AI). Bukan lagi soal mengikuti tren, tetapi memanfaatkan teknologi ini untuk menciptakan nilai nyata. Di tengah potensi besar dan tantangan yang semakin kompleks, rasa ingin tahu menjadi senjata utama para CEO dalam menguasai AI.

Seiring bergulirnya waktu menuju 2025, seperti ditulis Sridhar Ramaswamy, CEO Snowflake, sebuah perusahaan cloud data di thehedgemalaysia.com, AI tidak lagi menjadi sekadar buzzword yang memicu rasa kagum dan kekhawatiran.

Tahun depan diproyeksikan sebagai era utilitas AI, di mana organisasi yang berhasil bukanlah yang sekadar “menggunakan” AI, tetapi yang mampu mengintegrasikan teknologi ini untuk menjawab tantangan nyata. Dari pengambilan keputusan berbasis data hingga meningkatkan produktivitas, AI akan memaksa para pemimpin bisnis untuk memikirkan ulang pendekatan mereka terhadap operasional, karyawan, hingga regulasi.

Jika 2024 dikenal dengan hiruk-pikuk adopsi AI, 2025 akan ditentukan oleh bagaimana perusahaan memanfaatkan teknologi ini untuk tujuan yang jelas. Menurut Sridhar Ramaswamy, CEO Snowflake, langkah pertama adalah memahami alat yang tersedia seperti ChatGPT, Gemini, dan lainnya. “Semakin nyaman para pemimpin dengan berbagai jenis model AI, semakin baik kita secara kolektif dalam menghadapi dunia yang ada di depan kita,” ujarnya.

Ramaswamy menekankan pentingnya CEO untuk terus bereksperimen dan memperdalam pemahaman mereka tentang AI, bukan hanya untuk kepentingan pribadi tetapi juga untuk memberdayakan tim mereka. “Rasa ingin tahu yang tak terbatas” adalah saran utamanya untuk memimpin di tengah transformasi digital ini.

Menciptakan Insentif Baru untuk Era AI

Transformasi AI akan mengubah cara organisasi mengevaluasi kinerja dan menciptakan insentif karyawan. Contohnya, seorang insinyur perangkat lunak yang biasa dinilai berdasarkan jumlah kode yang ditulis per hari kini perlu beradaptasi dengan bantuan AI, seperti kopilot AI yang mempercepat tugas pengkodean. Tanpa sistem insentif yang diperbarui, penggunaan AI dapat dianggap mengurangi produktivitas mereka secara semu.

“Para pemimpin harus berinvestasi dalam peningkatan keterampilan AI dari atas ke bawah,” kata Ramaswamy. Dengan menciptakan budaya yang menghargai inovasi dan kerja kolaboratif, perusahaan dapat memastikan bahwa tenaga kerja mereka tetap terlibat, termotivasi, dan berdaya untuk memaksimalkan manfaat AI.

Regulasi dan Tantangan Etika di Era Baru AI

Kemajuan AI membawa serta tantangan besar di bidang regulasi dan etika. Dari penyalahgunaan deepfake hingga pelanggaran hak cipta data, dunia bisnis menghadapi kebutuhan mendesak untuk regulasi yang cerdas dan kerjasama lintas sektor. Menurut Ramaswamy, regulasi tidak bisa dihindari, tetapi harus dirancang secara bijak agar tidak menghambat inovasi.

“Tahun mendatang akan membawa aplikasi AI yang sebelumnya tak terbayangkan,” katanya, sambil menyoroti bahwa baik industri maupun pemerintah memiliki peran penting dalam membentuk masa depan AI. Pendekatan kolaboratif adalah kunci untuk memastikan teknologi ini berkembang secara bertanggung jawab tanpa menimbulkan risiko sosial yang tak terkendali.

Salah satu tren utama yang akan mendominasi 2025 adalah penggunaan data internal perusahaan untuk mengembangkan aplikasi AI yang lebih andal. Model generatif seperti RAG kini memungkinkan organisasi untuk memanfaatkan kumpulan data besar milik mereka sendiri, menciptakan nilai nyata yang tidak mungkin dicapai dengan data publik semata. Namun, perusahaan akan menuntut keandalan lebih dari sekadar demo spektakuler.

Isu etika lainnya muncul dari penggunaan data untuk melatih model AI. Tahun lalu, banyak penerbit mulai memberlakukan pembatasan ketat terhadap penggunaan data mereka oleh perusahaan AI. Ramaswamy mengusulkan solusi praktis: kolaborasi. Perusahaan AI perlu menjalin perjanjian lisensi dengan penyedia konten untuk melindungi data dan memastikan kompensasi yang adil.

Tanpa kesepakatan ini, risiko tuntutan hukum dapat menghambat kemajuan teknologi. “Sudah saatnya perusahaan AI berhenti menganggap remeh penyedia data dan mulai berinvestasi dalam sumber daya yang penting bagi keberhasilan mereka sendiri,” tegasnya.

Masa Depan AI: Harapan dan Tantangan
Dengan semua peluang dan tantangan yang ada, 2025 akan menjadi tahun yang monumental bagi dunia bisnis. Dari pengembangan teknologi hingga pembentukan kebijakan dan regulasi, AI memaksa semua pihak untuk bergerak lebih cepat, lebih strategis, dan lebih inovatif. Bagi CEO, rasa ingin tahu mungkin adalah alat paling berharga untuk mengarungi masa depan yang penuh ketidakpastian ini. ■

Comments are closed.