Para ahli ternyata memiliki pendapat yang beragam tentang sejauh mana AI generatif akan meningkatkan produktivitas dan nilai yang dapat diberikannya relatif terhadap biayanya, mengingat teknologi ini masih menghadapi tantangan lain seperti kekurangan chip dan daya.
Dalam sebuah laporan yang dipublikasikan pekan lalu, Goldman Sachs meneliti implikasi dari AI generatif dan mewawancarai para pakar industri dan ekonomi apakah pengeluaran besar untuk AI kemungkinan akan membuahkan hasil.
Janji AI terus disorot karena perusahaan teknologi besar dan korporasi lain akan menghabiskan sekitar US$1 triliun untuk belanja modal (capital expenditure/capex) dalam beberapa tahun mendatang, kata laporan itu, yang mencakup investasi dalam pusat data, chip, dan elemen infrastruktur AI lainnya.
“Namun, pengeluaran ini belum menunjukkan hasil apa pun selain laporan peningkatan efisiensi di kalangan pengembang. Bahkan saham perusahaan yang menuai keuntungan terbanyak hingga saat ini—Nvidia—telah terkoreksi tajam,” demikian laporan Goldman Sachs.
Laporan tersebut juga mengetengahkan wawancara dengan Daron Acemoglu, seorang profesor di MIT, yang mengatakan bahwa dia skeptis tentang kekuatan transformasional AI.
“Ia [Daron Acemoglu] memperkirakan bahwa hanya seperempat dari tugas yang terpapar AI akan hemat biaya untuk diotomatisasi dalam 10 tahun ke depan, yang berarti bahwa AI akan memengaruhi kurang dari lima persen dari semua tugas,” kata laporan itu.
Acemoglu juga memiliki pertanyaan mengenai apakah AI akan “menciptakan tugas dan produk baru.”
“Jadi, dia memperkirakan AI akan meningkatkan produktivitas AS hanya sebesar 0,5% dan pertumbuhan PDB (produk domestik bruto) hanya sebesar 0,9% secara kumulatif selama dekade berikutnya,” kata laporan itu.
Sementara Jim Covello, kepala penelitian ekuitas global di Goldman Sachs bilang, AI harus mampu memecahkan masalah-masalah yang rumit agar dapat memperoleh hasil yang memadai dari perkiraan biaya pengembangan dan pengoperasian teknologi sebesar US$$1 triliun.
Namun, Covello mengatakan dia tidak percaya AI diciptakan untuk memecahkan masalah rumit.
“Dia juga meragukan bahwa AI akan meningkatkan valuasi perusahaan yang menggunakan teknologi tersebut, karena keuntungan efisiensi apa pun kemungkinan akan tersaingi, dan menurutnya, jalan untuk benar-benar meningkatkan pendapatan masih belum jelas,” kata laporan itu.
Meskipun ada pertanyaan di antara para ahli bahwa AI akan memenuhi harapan yang tinggi, beberapa pihak optimis dengan teknologi tersebut.
Joseph Briggs, ekonom global senior di Goldman Sachs, menyampaikan pandangan yang lebih positif tentang AI dalam laporan tersebut. “Briggs memperkirakan bahwa generasi AI pada akhirnya akan mengotomatiskan 25% dari semua tugas pekerjaan dan meningkatkan produktivitas AS sebesar sembilan persen dan pertumbuhan PDB sebesar 6,1% secara kumulatif selama dekade berikutnya,” kata laporan itu.
Briggs mencatat bahwa meskipun mengotomatiskan banyak “tugas yang terpapar AI” tidak hemat biaya saat ini, ia menunjukkan kemungkinan bahwa biaya akan turun dalam jangka panjang, yang memungkinkan lebih banyak otomatisasi AI.
Laporan tersebut juga mengungkapkan pernyataan Eric Sheridan, analis riset ekuitas internet AS di Goldman Sachs, yang masih antusias mengenai potensi transformatif AI, dan mencatat bahwa investor “hanya memberi penghargaan kepada perusahaan yang dapat mengaitkan satu dolar pengeluaran AI kembali ke pendapatan.”
Laporan Goldman Sachs tersebut juga membahas kemungkinan bahwa meskipun AI memiliki kemampuan untuk menghasilkan manfaat signifikan bagi perekonomian dan laba bagi perusahaan, kekurangan pasok utama seperti chip dan listrik dapat mencegah teknologi tersebut mencapai potensinya.
Laporan tersebut mengutip pendapat analis semikonduktor AS Goldman Sachs Toshiya Hari, Anmol Makkar dan David Balaban yang menyatakan bahwa jumlah chip kemungkinan akan membatasi pertumbuhan AI selama beberapa tahun ke depan, karena permintaan melampaui pasokan.
“Namun pertanyaan yang lebih besar tampaknya adalah apakah pasokan listrik dapat memenuhi kebutuhan,” kata laporan itu.
Analis utilitas AS dan Eropa GS (Goldman Sachs) Carly Davenport dan Alberto Gandolfi, masing-masing, memperkirakan penyebaran teknologi AI, dan pusat data yang diperlukan untuk mendukungnya, akan mendorong peningkatan permintaan listrik yang belum pernah terlihat dalam satu generasi.
Meningkatnya permintaan daya dari AI menimbulkan tantangan bagi jaringan listrik AS, menurut Brian Janous, salah satu pendiri Cloverleaf Infrastructure dan mantan VP Energi di Microsoft.
Janous menegaskan perusahaan utilitas AS tidak siap menghadapi lonjakan permintaan yang akan datang dan jaringan listrik AS yang menua belum mengalami peningkatan konsumsi listrik dalam hampir dua dekade.
Akibat kendala tersebut, Janous dan Davenport mengatakan bahwa “investasi substansial” dalam infrastruktur listrik AS akan memerlukan waktu yang signifikan mengingat sifat industri utilitas yang sangat diatur dan kendala pasokan.
“Krisis listrik apat membebani pertumbuhan AI di masa mendatang,” demikian Janous. ■