Bank for International Settlements (BIS)–lembaga keuangan internasional beranggotakan bank sentral di seluruh dunia–memperingatkan bank sentral untuk bersiap terhadap dampak besar yang ditimbulkan dari perkembangan teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI).
Dalam siaran persnya, Rabu (26/6), BIS menyatakan pesatnya adopsi AI mengharuskan bank sentral untuk merangkul teknologi baru ini dan mendesak para pembuat kebijakan untuk mengantisipasi dampak transformatif AI terhadap perekonomian dan menggunakannya untuk mempertajam alat analisis mereka.
BIS mengungkapkan implikasi penerapan AI baru bagi bank sentral. AI siap memberikan dampak pada sistem keuangan, pasar tenaga kerja, produktivitas, dan pertumbuhan ekonomi. Dengan adopsi yang meluas, hal ini dapat meningkatkan kemampuan perusahaan untuk menyesuaikan harga dengan lebih cepat sebagai respons terhadap perubahan makro-ekonomi yang berdampak pada dinamika inflasi.
“Tugas bank sentral sebagai pengelola perekonomian juga akan terkena dampak langsung sebagai pengguna garis depan alat AI,” demikian BIS.
Kasus penggunaan AI oleh bank sentral mencakup peningkatan nowcasting dengan menggunakan data real-time untuk memprediksi inflasi dan variabel ekonomi lainnya dengan lebih baik, serta menyaring data untuk mengetahui kerentanan sistem keuangan, sehingga memungkinkan pihak berwenang mengelola risiko dengan lebih baik. Data telah menjadi sumber daya yang lebih berharga dengan munculnya AI dan akan menjadi landasan penggunaan teknologi oleh bank sentral.
Hyun Song Shin, Kepala Riset dan Penasihat Ekonomi di BIS mengatakan model AI generasi baru telah menangkap imajinasi kolektif kita melalui kemampuannya yang luar biasa, namun model tersebut juga mempunyai pengaruh langsung terhadap cara bank sentral melakukan tugasnya.
“Data dalam jumlah besar dapat memberi kita informasi yang lebih cepat dan kaya untuk mendeteksi pola dan risiko laten dalam perekonomian dan sistem keuangan. Semua ini dapat membantu bank sentral memprediksi dan mengarahkan perekonomian dengan lebih baik,” katanya.
Hyun Song Shin menambahkan, para pembuat kebijakan tak boleh melihat AI sebagai ‘sesuatu yang ajaib’. AI hanya boleh digunakan untuk membantu mencari celah pada sistem keuangan. AI tak boleh diberikan peran lebih dari itu.
Sebab, menurut BIS, AI memiliki risiko petaka besar. Misalnya, memunculkan serangan siber bentuk baru, memperluas serangan siber yang sudah ada saat ini, serta bisa mengeksploitasi aset finansial.
Di sisi lain, AI juga dalam jangka panjang akan mengubah pasar kerja, serta berdampak pada produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.
Dampaknya terhadap permintaan dan tekanan inflasi akan bergantung pada seberapa cepat para pekerja yang terlantar dapat mendapatkan pekerjaan baru, dan apakah rumah tangga dan perusahaan mengantisipasi dengan tepat manfaat AI di masa depan.
Dalam jangka pendek, pasokan dapat melebihi permintaan, yang dapat mengurangi tekanan namun dampaknya dapat berbalik seiring berjalannya waktu karena permintaan juga dapat mengimbangi peningkatan pendapatan. Bank sentral harus tetap peka terhadap dinamika ini dalam kebijakan moneternya.
Di sektor keuangan, AI dapat meningkatkan efisiensi dan menurunkan biaya pembayaran, pinjaman, asuransi, dan manajemen aset, kata laporan itu. BIS memperingatkan bahwa AI juga menimbulkan risiko, seperti serangan siber jenis baru, dan dapat memperkuat serangan yang sudah ada.
Bank-bank sentral merupakan pengguna awal pembelajaran mesin dan oleh karena itu memiliki posisi yang baik untuk memanfaatkan kemampuan AI dalam menerapkan struktur pada sejumlah besar data tidak terstruktur.
Kendati begitu, BIS menegaskan bahwa AI tak boleh menggantikan manusia dalam mengatur tingkat suku bunga. Pasalnya, AI datang dengan membawa risiko berbahaya, di samping manfaatnya yang besar.
Dalam laporan pertama lembaga tersebut terkait AI, BIS mengatakan para pemangku kebijakan harus memperkuat fungsinya dalam memonitor data secara real-time. Hal ini diperlukan agar bank sentral bisa membuat prediksi yang lebih tajam terkait inflasi.
BIS mengatakan prediksi terkait inflasi harus diperkuat, apalagi setelah dunia menghadapi krisis bertubi-tubi. Mulai dari pandemi Covid-19 hingga invasi Rusia ke Ukraina. Dua peristiwa itu berkontribusi terhadap kenaikan inflasi secara tiba-tiba dan berpengaruh terhadap perekonomian dunia.
Meski AI bisa dimanfaatkan untuk membantu memprediksi inflasi, tetapi BIS mengatakan AI berpotensi menciptakan ‘halusinasi’. Untuk itu, pejabat senior BIS Cecilia Skingsley bilang AI tak boleh diberikan kekuatan super untuk mengatur suku bunga. Hal itu diungkap
“Manusia harus tetap bertanggung jawab. Saya tak bisa membayangkan masa depan di mana AI akan menjadi pengatur suku bunga,” ujar bankir di bank sentral Swedia tersebut.
Sejauh ini, BIS sendiri sudah mengimplementasikan AI ke dalam 8 proyeknya. Namun, tak satupun yang menjadikan AI sebagai ‘eksekutor’, melainkan hanya ‘pembantu’.
Kepala peneliti dan penasihat ekonomi, Hyun Song Shin, mengatakan para pembuat kebijakan tak boleh melihat AI sebagai ‘sesuatu yang ajaib’.
AI hanya boleh digunakan untuk membantu mencari celah pada sistem keuangan. AI tak boleh diberikan peran lebih dari itu.
Sebab, menurut BIS, AI memiliki risiko petaka besar. Misalnya, memunculkan serangan siber bentuk baru, memperluas serangan siber yang sudah ada saat ini, serta bisa mengeksploitasi aset finansial.
Di sisi lain, AI juga dalam jangka panjang akan mengubah pasar kerja, serta berdampak pada produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. ■