digitalbank.id – Backbase, perusahaan global di bidang Engagement Banking merilis laporan Infobrief IDC yang berfokus pada wilayah Asia Pasifik (APAC), bertajuk “Accelerating Customer-Centric Transformation by Balancing Build and Buy – A Collaborative
Approach Towards Sustainable Digital Banking Architecture”.
Survei pada studi ini mengungkapkan bahwa strategi ‘build’ dalam membangun platform perbankan masih belum dilirik oleh 68% CIO (Chief information Officer) perbankan di Indonesia untuk melakukan transformasi digital.
Laporan mendalam ini mengambil insights dari 125 bank dan 316 CIO di kawasan Asia Pasifik, termasuk Indonesia, dan menawarkan perspektif regional tentang transformasi digital.
Infobrief menguji pendekatan bawaan yang sudah lama ada dalam membangun solusi internal untuk platform engagement banking digital dan menemukan bahwa 65% bank menengah hingga besar di APAC telah memilih untuk membangun platform perbankan keterlibatan mereka secara internal untuk menuju digital transformasi.
Namun, 70% dari proyek ini gagal karena upaya internal yang mahal dan memakan waktu lama. Dari infobrief ini, 80% platform engagement digital yang dibangun secara internal dengan anggaran lebih dari US$10 juta (setara lebih dari Rp153 miliar) berkinerja yang buruk dan belum menghasilkan Return-on-Equity (ROE) yang diinginkan dalam inisiatif digital mereka.
Laporan tersebut menggarisbawahi bahwa bank-bank di Indonesia memiliki preferensi yang jelas untuk strategi “Adopt & Build” daripada “Build”.
Khusus untuk bank di Indonesia, waktu yang dibutuhkan untuk memodernisasi sistem pembangunan membutuhkan waktu hampir dua kali lipat dibandingkan sistem pada platform “Adopt & Build”. Misalnya, peluncuran saluran digital baru (seperti operasi untuk mobile dan cabang) untuk satu lini bisnis membutuhkan waktu sekitar 12 bulan.
Namun, dengan memanfaatkan platform engagement banking digital, bank dapat secara bersamaan membangun kemampuan layanan pinjaman untuk UKM dan menyelesaikan proses tersebut dalam jangka waktu yang lebih singkat hanya dalam setengah tahun.
“Bank Indonesia (BI) menyatakan penggunaan sistem perbankan digital diperkirakan meningkat dari Rp40 ribu triliun (2021) menjadi Rp48 ribu triliun (2022) untuk mengimbangi tingginya nasabah digital di Indonesia.
Membangun platform engagement banking yang berpusat pada kebutuhan nasabah adalah parameter penting dalam memodernisasi alur layanan perbankan bagi nasabah dan pemilik bisnis serupa, serta membangun ekosistem keuangan yang inklusif dan saling terhubung.
“Backbase berkomitmen untuk berinovasi dan membangun engagement digital dengan nasabah secara unik demi memenuhi kebutuhan bank-bank di Indonesia,” ujar Riddhi Dutta, Regional Vice President, Asia, Backbase.
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mewajibkan bank untuk fokus pada transformasi digital dan pengalaman pelanggan (customer experience) serta mendukung bank untuk menciptakan use cases perbankan baru di bidang open banking, banking as a service, dan kecerdasan buatan (AI).
Namun, IDC menunjukan bahwa krisis talenta dan risiko migrasi akan mendorong kebutuhan untuk untuk penerapan pendekatan “Adopt & Build” lebih lanjut.
“Membangun platform secara in-house telah menjadi strategi de-facto oleh bank, tetapi tidak lagi memungkinkan untuk memberikan kecepatan dan skala yang diperlukan untuk menjadi kompetitif. Kompleksitas yang datang dengan banyaknya lapisan data, saluran, fitur, dan integrasi hulu dan hilir yang perlu mendukung sistem lama dan modern untuk mengelola dan mengatur dengan cara yang canggih adalah titik dimana implementasi tersebut sulit dilakukan hanya secara internal saja,” jelas ashish Kakar, Senior Director of Research, APAC, IDC.
Meskipun telah memulai transformasi digital sejak tahun 2000-an, banyak bank di APAC masih berada pada tahap awal, gagal memanfaatkan sepenuhnya manfaatnya dan memberikan keterlibatan pelanggan digital yang menarik.
IDC Infobrief menyoroti adanya kesenjangan yang cukup signifikan antara pihak perbankan dan nasabahnya, dimana sebagian besar produk dan penawaran perbankan masih dianggap serupa dan terbatas.
Berdasarkan data yang diambil dari Infobrief tersebut, perbankan dengan ukuran menengah dan besar di Indonesia dikategorikan ke dalam kategori bank di kuadran Watchers (pengamat), serupa dengan bank-bank di Vietnam dan Hong Kong.
Namun, perkembangan transformasi digital di Indonesia dinilai lebih lambat dibandingkan dengan dua negara lainnya dalam kategori ini.
Menurut laporan tersebut, negara-negara di dalam kategori ini dianggap memiliki anggaran untuk dibelanjakan, tetapi
masih membutuhkan bantuan untuk menentukan fokus pengeluaran dana untuk keperluan digital.
Para nasabah menghadapi tantangan dalam mengakses berbagai layanan melalui antarmuka yang beragam, kurangnya kesatuan tampilan portofolio mereka, dan harus menjalani proses pengenalan yang panjang.
Permintaan untuk memperoleh persetujuan secara instan dan proses digital yang efisien masih belum terpenuhi, sementara pengalaman yang dipersonalisasi, segmentasi, dan promosi yang relevan berdasarkan pada kebutuhan gaya hidup, pengalaman pribadi, dan target nasabah terus luput dari perhatian para perbankan.
Selain itu, operasi backend pun menjadi terganggu akibat kurangnya bantuan canggih di bagian pusat layanan, sehingga nasabah seringkali diminta untuk berulang kali menyampaikan informasi kepada petugas layanan yang berbeda karena tidak adanya layanan pelanggan yang menyeluruh.
Hal ini terjadi karena perbankan berfokus pada penggunaan sumber daya yang besar untuk mengembangkan platform perbankan, alih-alih memprioritaskan penyediaan layanan dan pengalaman nasabah yang beragam.
Lebih dari 150 bank modern dan berorientasi masa depan telah mengadopsi dan mengembangkan Patform Engagement Banking Backbase untuk mempercepat visi go-to-market mereka dan memprioritaskan inovasi interaksi dan pengalaman pelanggan digital yang disesuaikan dengan kebutuhan mereka.
Platform yang sempurna harus memenuhi semua persyaratan, mulai dari kesesuaian dengan pasar, keamanan, dan kepatuhan terhadap regulasi, serta bersifat fleksibel dan dapat disesuaikan untuk mendukung kebutuhan nasabah yang beragam di setiap bank.
“Platform ini bagaikan sebuah struktur yang dapat disusun serta mampu menghadirkan fungsionalitas dan data yang dapat digunakan kembali oleh perbankan untuk membantu mereka dalam menghadapi tantangan di masa
depan,” lanjut Dutta. ■