Era bank digital dan ramalan kiamat ATM

- 3 Januari 2022 - 08:00

digitalbank.id – BANYAK pihak meramalkan terjadinya ‘kiamat ATM’ di tengah naiknya pamor digital banking. Padahal, yang mengalami kiamat hanya ATM jadul dan bukan ATM berteknologi canggih. Pasar ATM global bahkan diprediksi terus meningkat dengan nilai US$6,94 miliar.

Penggunaan anjungan tunai mandiri/automatic teller machine (ATM) oleh nasabah perbankan di Indonesia–juga di seluruh jagad–memang terus mengalami penurunan seiring naiknya pamor digital banking. Tapi apa benar mesin ATM akan ditinggalkan nasabah?

Dulu, jauh-jauh hari sebelum bank mendapat sentuhan digital, bank di Indonesia seperti terlibat dalam satu pertarungan besar di mana bank yang paling banyak buka cabang dan banyak punya ATM akan menjadi bank terkuat. Bukan hal yang aneh kalau di media massa hampir setiap hari ada berita pembukaan kantor cabang bank afau ATM baru.

Transaksi ATM bank-bank papan atas di Indonesia memang mengiurkan. Pertengahan 2012 saja, Bank Mandiri menargetkan transaksi ATM bisa mencapai Rp50 triliun dalam satu bulan. Bank Mandiri mengaku optimis target itu akan tercapai karena rata-rata transaksi per satu ATM per bulannya bisa terjadi Rp60 juta. Dengan banyaknya transaksi ini, fee based income yang didapat per satu ATM per bulan bisa mencapai Rp2,5-2,75 juta per bulan. Saat itu Bank Mandiri punya 10.000 ATM.

Bank dengan jumlah ATM terbanyak adalah Bank BRI. Hingga September 2019, BRI memiliki 20.846 mesin ATM, kemudian Bank Mandiri 18.291 mesin ATM dan BNI 18.570 mesin ATM. Sementara BCA punya 16.965 ATM.

Menurut data Bank Indonesia jumlah ATM sejak 2019 mengalami penurunan dari sebanyak 106.901 mesin pada 2018, menjadi 106.649 pada 2019 dan lalu menyusut hingga 99.262 mesin pada akhir September 2021.

Kenapa jumlah ATM turun? Tak lain karena para pelaku industri perbankan tengah menata dan mengembangkan layanan digitalnya, seiring dengan adanya percepatan transisi menuju era digital. Akibatnya apa? Faktor-faktor yang menentukan sebuah bank menjadi pemenang pun berubah. Kalau dulu pada era perbankan tradisional, transaksi perbankan menjadi faktor keunggulan bagi suatu bank. Makanya, bank jor-joran buka cabang dan memperbanyak jaringan ATM-nya.

Tapi sekarang, menurut Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah mengatakan, aset seperti kantor cabang dan ATM justru bisa menjadi beban perusahaan.

“Bank membangun ekosistem dengan jaringan kantor cabang yang luas. Dulu itu keunggulan. Tapi ke depan, di era digital, itu bukan lagi enjadi faktor unggulan, tapi bisa menjadi faktor beban,” kata Pieter dalam satu kesempatan.

Transaksi melalui ATM pun diketahui mulai ditinggalkan nasabah. Nasabah memilih bertransaksi melalui mobile banking yang dinilai lebih praktis dan mudah. Bank BNI merasakan hal itu. Transaksi ATM PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk mencapai 747,8 juta transaksi pada semester I 2021 dengan rata-rata- transaksi per bulan sebanyak 124,6 juta. Tapi, selama periode Juli hingga November 2021, total transaksi ATM BNI hanya mencapai 605 juta. Terjadi penurunan transaksi secara bulanan dari 124,6 juta menjadi 121 juta.

Behaviour nasabah perbankan memang terlihat lebih nyaman menggunakan aplikasi online atau digital. Seperti halnya yang dialami Bank Mandiri. Pada kuartal pertama 2021, transaksi di ATM sebesar Rp200 triliun sementara aplikasi Livin’, aplikasi digital Bank Mandiri, mencapai Rp341 triliun.

Bank BNI juga mencatat ada kenaikan transaksi lewat digital banking. Transaksi tersebut tercatat 98% dan sisanya melalui kantor cabang. Selain itu hingga kuartal pertama 2021 pada segmen konsumen ada peningkatan pengguna mobile banking sebesar 58% dengan nilai transaksi meningkat 33%. Sementara frekuensi transaksi di segmen konsumer naik 50%. Segmen korporasi melalui BNI Direct, tercatat ada peningkatan jumlah pengguna sebesar 24% dengan kenaikan nilai transaksi sebesar 22,7% dan frekuensi transaksi sebesar 140%.

Bank BCA yang hampir menguasai jaringan ATM di Indonesia juga menghadapi persoalan yang sama. Hal serupa juga diakui oleh BCA. Bos BCA Jahja Setiaatmadja mengatakan lebih dari 80% transaksi nasabah dilakukan digital dan transaksi ATM terus menurun. Di ATM transaksi hanya 13% saja dari total transaksi yang ada.

Tapi apakah benar nasabah sudah tak mau melirik ATM lagi? Nyatanya tidak. Nasabah tetap akan melirik ATM. Persoalannya, ATM seperti apa yang dibutuhkan nasabah saat ini? Tentu ATM yang canggih, seiring dengan datangnya era digital. Seperti apa mesin ATM canggih itu?

Kalau mesin ATM jadul memiliki fungsi hanya untuk tarik tunai dan melakukan transaksi pembayaran seperti tagihan listrik, telepon dan lain sebagainya. Fitur lainnya adalah transfer dana. ATM canggih punya fitur tambahan seperti cash deposit machine (CDM). Mesin canggih ini membawa fitur yang ada dengan ATM tetapi ditambahkan nasabah bisa melakukan setor tunai tanpa harus ke cabang.

Kemudian cash recycling machines (CRM). Mesin ini memiliki fungsi yang sama dengan teller bank. Di mesin ini nasabah bisa menyetor dan menarik dana dari rekening lainnya di mana fitur-fitur terdahulu masih tersedia.

ATM berevolusi lagi. Kalau sebelumnya nasabah bisa bertransaksi dengan menggunakan kartu debit/ATM, kini nasabah bisa bertransaksi tarik tunai dari ATM tanpa kartu hanya dengan memasukkan nomor konfirmasi penarikan pada mesin ATM.

Baca Juga: Belum tertarik bikin bank digital, Bank BTN siapkan super app digital mortgage

Bank OCBC sudah meluncurkan teknologi penarikan dana di ATM dengan menggunakan teknologi QR Code. Nasabah tinggal bertransaksi penarikan dana di aplikasi OCBC Pay Anyone kemudian melakukan pemindaian (scan) QR code yang ada di ATM dan pengguna sudah mendapatkan uang yang ditarik hanya dalam hitungan 45 detik. OCBC mengklaim teknologi ini lebih aman karena tidak lagi menggunakan nomor PIN sementara kode khusus di QR code terus berubah secara berkala.

Perbankan di Indonesia juga terus meremajakan ATM-nya. ATM yang tidak didukung dengan teknologi chip Europay, Mastercard, Visa (EMV) yang menjadi standar global untuk transaksi kredit dan debit berbasis chip, ya mohon maaf, harus rela ‘dimuseumkan’.

Jadi ATM tidak akan pernah mati. Hanya saja, yang hidup dan tetap akan dipakai adalah ATM yang canggih yang bisa melengkapi kehadiran bank digital. Bahkan menurut laporan “Global Automated Teller Machine Market 2021-2025” yang dipublikasikan ResearchAndMarkets.com, pasar ATM, tentu ATM yang dibekali teknologi terkini nam canggih, siap untuk tumbuh sebesar US$6,94 miliar selama 2021-2025 atau tumbuh sekitar 6% selama periode tersebut.

Kecanggihan ATM nantinya juga tak terbatas pada QR code, CDM atau CRM. ATM masa depan juga akan dilengkapi teknologi biometrik sehingga nasabah tak repot-repot mengingat dan memasukkan PIN. Pasar biometrik global sendiri diperkirakan akan bernilai US$32,7 miliar pada tahun 2022.

ATM, jauh dari sekadar memberikan layanan konvensional di mana bank bisa menambahkan kemampuan ATM-nya seperti video dua arah, pembukaan rekening, penerbitan kartu instan, pencetakan buku cek, dan teknologi multifungsi lainnya. Ke depan, ada potensi ATM untuk menjadi teller machine bahkan akan ada diproduksi banyak ATM bitcoin.

ATM Bitcoin tak ubahnya mesin kios yang memungkinkan pengguna membeli bitcoin atau mata uang kripto lainya menggunakan ATM. Beberapa jenis ATM bitcoin juga ada yang menawarkan transaksi “Dua Arah” yang artinya pengguna dapat melakukan transaksi baik pembelian dan penjualan bitcoin menggunakan uang tunai.

Satu lagi kenapa ‘kiamat ATM’ kemungkinan besar tidak akan pernah terjadi, karena ATM akan menjadi penyelamat bagi demografi yang tidak atau belum nyaman dengan perbankan digital atau yang masih bergantung pada uang tunai. Dan itu jumlahnya cukup lumayan dan mesti dilayani perbankan. (HAN)

Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.