Separuh lebih warga AS jadi pemain saham, negara mana saja menyusul?

- 29 April 2025 - 08:03

Lebih dari separuh warga Amerika Serikat kini memiliki investasi di pasar saham, menjadikan AS sebagai negara dengan tingkat kepemilikan saham tertinggi di dunia. Kanada dan Australia mengikuti di belakangnya. Fenomena ini didorong oleh kemudahan akses melalui platform investasi tanpa biaya, meski ketidakpastian ekonomi, termasuk gejolak di era Presiden Trump, memperbesar risiko. Sementara itu, negara-negara berpenduduk besar seperti India dan China masih mencatat tingkat kepemilikan saham yang rendah, meskipun jumlah investor mereka tetap besar dalam angka absolut.


Fokus utama:

  1. Amerika Serikat memimpin dunia dalam tingkat kepemilikan saham masyarakat.
  2. Akses investasi yang semakin mudah mengubah demografi investor global.
  3. Ketidakpastian politik dan ekonomi meningkatkan volatilitas pasar saham.

Dalam lanskap keuangan global yang makin dinamis, Amerika Serikat kembali menegaskan dominasinya. Berdasarkan data terbaru dari HelloSafe yang diolah oleh Visual Capitalist, 55% penduduk AS tercatat memiliki investasi di pasar saham, baik melalui pembelian langsung, asuransi jiwa berbasis investasi, maupun dana pensiun. Ini menjadikan AS sebagai negara dengan tingkat kepemilikan saham tertinggi di dunia.

Di posisi kedua, Kanada membayangi dengan 49% warganya terlibat di pasar modal, diikuti Australia (37%), Inggris (33%), dan Selandia Baru (31%). Mayoritas negara dengan tingkat kepemilikan tinggi ini memiliki sistem dana pensiun publik yang kuat, yang turut mendorong partisipasi masyarakat dalam investasi saham.

Lonjakan partisipasi di negara-negara maju ini sebagian besar dipicu oleh kemunculan platform investasi tanpa biaya, seperti Robinhood di AS atau Wealthsimple di Kanada. Penelitian dari UC Berkeley mengungkapkan, tanpa adanya biaya transaksi, investor ritel cenderung mendapatkan hasil investasi yang lebih baik. Hal ini terutama menarik generasi muda, dengan kelompok usia di bawah 35 tahun mencatat pertumbuhan partisipasi tercepat.

Menariknya, dua negara terpadat di dunia, India dan China, masih mencatatkan tingkat kepemilikan saham yang sangat rendah, masing-masing hanya 6% dan 7%. Namun, dalam angka absolut, komunitas investor mereka tetap besar—sekitar hampir 100 juta orang di masing-masing negara.

Faktor seperti literasi keuangan, regulasi pasar modal, dan tingkat pendapatan per kapita menjadi penghambat utama partisipasi di negara-negara berkembang. Menurut laporan World Bank 2024, tingkat literasi keuangan di India baru mencapai 27%, sedangkan di China sedikit lebih tinggi di kisaran 35%.

Namun, tingginya keterlibatan masyarakat AS di pasar saham juga membuat ekonomi domestik mereka lebih rentan terhadap gejolak politik. Empat bulan pertama masa jabatan kedua Presiden Donald Trump tercatat sebagai masa terburuk dalam sejarah pasar saham modern. S&P 500 merosot 15% sejak Januari, sebelum akhirnya sedikit pulih setelah Gedung Putih menunda kembali pemberlakuan tarif impor.

Meski ada sedikit perbaikan, indeks S&P 500 tetap turun 7% secara year-to-date (YTD) hingga April 2025. Dengan lebih dari setengah populasi terlibat dalam investasi, fluktuasi ini terasa langsung oleh jutaan rumah tangga Amerika.

Partisipasi luas dalam pasar saham menciptakan peluang pertumbuhan ekonomi berbasis investasi, namun juga memperbesar risiko sistemik. Ketika lebih banyak individu bertumpu pada kinerja pasar untuk masa depan keuangan mereka, volatilitas bisa membawa dampak sosial-ekonomi yang lebih luas.

Dalam konteks global, tren ini mendorong negara-negara lain untuk mempercepat pengembangan ekosistem keuangan yang lebih inklusif. Beberapa negara seperti Vietnam, Irlandia, dan Swedia mulai menunjukkan tren positif, dengan tingkat kepemilikan saham yang terus meningkat didorong oleh program literasi keuangan nasional dan insentif pajak bagi investor ritel.

S&P 500, meski mengalami tekanan belakangan ini, tetap menjadi indeks saham dengan kinerja terbaik dibandingkan bursa utama dunia sejak 2015. Data dari Morningstar mencatat bahwa rata-rata return tahunan S&P 500 mencapai 11,3% dalam satu dekade terakhir, melampaui indeks DAX Jerman dan FTSE 100 Inggris.

Dengan kemajuan teknologi, menurunnya biaya transaksi, dan semakin terjangkaunya akses ke pasar keuangan global, tren partisipasi investasi individu diprediksi akan terus meningkat, sekaligus menuntut kebijakan yang lebih adaptif untuk melindungi investor ritel di era ketidakpastian ini. ■

Comments are closed.