digitalbank.id – BANYAK PEMAIN DI PASAR MODAL mulai mengalihkan portofolionya dari bank digital dan emiten teknologi. Hal itu terlihat dari harga saham sejumlah emiten kedua sektor tersebut yang kompak turun dalam beberapa waktu terakhir, setelah sempat meroket.
Sebaliknya, para pelaku pasar saham menaruh minat pada saham bank konvensional, terbukti dari kenaikan harga yang berlangsung pada waktu bersamaan. Apakah peralihan investor saham dari bank digital dan emiten teknologi merupakan tren sesaat atau berlangsung dalam jangka panjang?
Para pemerhati saham menyampaikan tren kenaikan saham emiten sektor ekonomi konvensional bisa berlangsung sekitar 1 sampai 1,5 tahun ke depan seiring membaiknya suplai.
Namun, saham-saham berbasis digital diperkirakan bernyawa lebih panjang saat Covid-19 sudah selesai. Lihat umpamanya, saham digital PT Bank Jago Tbk (ARTO) ditutup di harga Rp12.350 per saham pada 11 Oktober 2021. Harga saham tersebut turun 31,2% secara kumulatif sejak awal Agustus 2021. Padahal, pada periode Januari-Juli, harga saham Bank Jago menguat signifikan 403,35% menjadi Rp17.950 per saham.
Saham PT BRI Agroniaga Tbk (AGRO) yang berganti nama menjadi Bank Raya Indonesia turun 20% pada periode Agustus-11 Oktober menjadi Rp 2.000. Pola yang sama, pada Januari-Juli harga saham anak BRI ini naik 141,55% menjadi Rp 2.500 per saham. Contoh lainnya, harga saham PT Bank MNC Internasional Tbk (BABP) turun 24,25% menjadi Rp 262 per saham sepanjang Agustus-11 Oktober. Padahal, harga sahamnya sempat menguat 615,92% menjadi Rp 345 per saham pada periode Januari-Juli.
Harga saham PT Bank Aladin Syariah Tbk (BANK) menyusut 21,73% pada periode Agustus-11 Oktober menjadi Rp 2.630 per saham. Sejak melantai di Bursa Efek Indonesia pada 1 Februari, harga saham Bank Aladin Syariah menguat 3.162% menjadi Rp 3.360 per saham hingga akhir Juli.
Ada yang masih menguat
Meski begitu, ada sejumlah saham bank digital yang memang masih menguat dalam dua bulan terakhir. Seperti saham PT Bank Neo Commerce Tbk (BBYB) yang naik 58,33% menjadi Rp 1.330 per saham pada periode Agustus-11 Oktober, melanjutkan penguatan Januari-Juli 191,34% menjadi Rp840 per saham.
Saham PT Allo Bank Indonesia Tbk (BBHI) milik pebisnis Chairul Tanjung ini masih naik 37,87% sejak Agustus hingga 11 Oktober menjadi 3.750 per saham. Sepanjang Januari-Juli harga sahamnya sudah naik 1.624% menjadi Rp 2.720 per saham.
Situasi tersebut berbalik dibandingkan harga saham perbankan konvensional, di mana sepanjang Agustus hingga penutupan 11 Oktober menguat. Padahal sejak awal tahun hingga penutupan Juli, harga saham bank ini berguguran. Saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) turun 11,82% menjadi Rp 29.850 per saham pada Januari-Juli. Namun, pada periode Agustus-11 Oktober, harganya naik signifikan 21,52% menjadi Rp 36.275 per saham, mendekati harga tertinggi sepanjang masa sebelum melakukan stock split.
Harga saham PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) juga sempat turun 11,03% pada periode Januari-Juli. Meski begitu, memasuki Agustus, harga sahamnya mampu menguat 15,49% hingga 11 Oktober di Rp 4.180 per saham.
Begitu juga dengan bank BUMN lain, PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) yang menguat sejak Agustus hingga 11 Oktober sebesar 21,05% menjadi Rp 6.900 per saham. Padahal seperti sebelumnya, harga saham Bank Mandiri sempat turun 9,88% sejak awal tahun hingga Juli. Saham PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) bahkan sempat anjlok 22,59% pada periode Januari-Juli. Namun, masuk Agustus harga sahamnya justru naik 33,89% menjadi Rp 6.400 per saham pada penutupan perdagangan 11 Oktober.
Secara umum, seluruh jenis bank tersebut tergabung dalam indeks sektor finansial. Sepanjang Januari-Juli sektor ini naik 7,41% ditopang kenaikan saham bank digital. Pada Agustus-September, sektor finansial 4,5%menguat ditopang bank konvensional.
Saham berbasis teknologi
Pola yang sama juga sebenarnya terjadi pada saham emiten berbasis teknologi. Indeks sektor teknologi sepanjang Januari-Juli menguat 953,43%. Sebaliknya pada periode Agustus-September, indeks sektor teknologi anjlok 19,52%. Saham berbasis komoditas yang masuk dalam sektor energi menguat 31,08% pada periode Agustus-September. Padahal, indeks saham energi sempat turun 2,91% pada periode Januari-Juli.
Hal yang sama terjadi pada saham sektor konsumer non-siklus yang sepanjang Januari-Juli turun 16,56%. Namun, memasuki Agustus, harga sahamnya mulai bangkit dan ditutup naik 2,11 pada akhir September.
Senior Vice President Kanaka Hita Solvera Janson Nasrial menilai kenaikan saham bank konvensional sejalan dengan kenaikan harga komoditas karena bisa mendongkrak konsumsi rumah tangga, konsumsi investasi, dan produk domestik bruto (PDB). “Korelasi harga komoditas dengan PDB Indonesia sangat tinggi. Akibatnya sektor old economy (ekonomi tua) seperti bank, retail, barang konsumsi, dan otomotif yang akan terimbas positif,” kata Janson.
Menurut Janson, tren kenaikan saham bank konvensional maupun sektor ekonomi tua bisa berlangsung hanya sekitar 1 sampai 1,5 tahun ke depan seiring membaiknya suplai. Namun, saham-saham berbasis teknologi diperkirakan bernyawa lebih panjang meski Covid-19 sudah selesai. “Setelah covid-19 mengakibatkan perusahaan harus adaptasi teknologi dengan cepat dan masif,” ujar Janson.
Adapun analis Pilarmas Investindo Sekuritas Okie Ardiastama mengatakan, secara umum, kenaikan sejumlah emiten sektor bisnis konvensional terjadi seiring progres pemulihan ekonomi setelah penurunan kasus Covid-19. Pembalikan arah ini menjadi indikasi dari ekspektasi pelaku pasar yang perlahan membaik.
Kenaikan harga saham bank digital maupun perusahaan berbasis teknologi hingga pertengahan tahun ini bersamaan dengan ekspektasi pertumbuhan industri dan pesatnya perkembangan teknologi di tengah pandemi Covid-19.
Pergerakan saham yang terlalu masif, membawa valuasi berada pada harga yang cukup tinggi. Okie melihat valuasi yang tinggi tersebut akan kembali disesuaikan dengan realisasi kinerja dari keuangan emiten yang mewakili ekonomi baru. Pasalnya, sejumlah bank digital dan perusahaan teknologi belum membukukan laba bersih yang bagus, bahkan masih ada yang membukukan kerugian. “Pelaku pasar akan mencermati realisasi dari kinerja keuangan emiten teknologi dan bank digital dalam beberapa tahun ke depan,” kata Okie.
Analis Mirae Asset Sekuritas M. Nafan Aji Gusta Utama menilai investasi pada saham berbasis teknologi punya risiko tersendiri. Peningkatan harga saham teknologi bersifat euforia sesaat. Ketika euforia berakhir, investor beralih ke saham-saham berbasis ekonomi konvensional seperti yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir. “Ketika terjadi periode window dressing, sehingga menjadi kenaikan harga saham bluechips sehingga bisa jadi rotasi lagi. Pelaku pasar akan mencermati ke new economy kembali nanti seiring dengan misal ada potensi euforia baru,” kata Nafan.
Analis Mirae Asset Sekuritas lainnya, Martha Christina menilai investasi pada saham teknologi menjadi wajar dilakukan oleh manajer investasi karena kenaikan harga yang masif. Hal ini bertujuan mengimbangi portofolio manajemen untuk dikombinasikan dengan saham berbasis ekonomi konvensional yang lebih stabil. “Bagaimanapun portofolio manajer investasi memiliki kombinasi untuk perusahaan-perusahaan dengan pertumbuhan yang relatif stabil seperti old economy dengan new economy yang punya pertumbuhan tinggi,” kata Martha.
Martha menilai emiten bank digital maupun perusahaan teknologi punya usia lebih muda, tetapi harga sahamnya saat ini relatif tinggi. (SAF)