
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) resmi mengizinkan platform fintech peer-to-peer (P2P) lending untuk membentuk Unit Usaha Syariah (UUS) melalui Peraturan OJK (POJK) Nomor 40 Tahun 2024. Aturan ini bertujuan memperkuat ekosistem keuangan syariah dengan standar tata kelola, manajemen risiko, dan credit scoring yang lebih ketat.
Dengan modal awal minimal Rp10 miliar, UUS diwajibkan memiliki Dewan Pengawas Syariah serta sistem pembukuan terpisah. Langkah ini diharapkan dapat memperluas akses pendanaan berbasis syariah dan meningkatkan kepercayaan publik terhadap industri fintech lending.
Poin utama:
- POJK 40/2024 memperkuat regulasi fintech lending, termasuk pembentukan Unit Usaha Syariah (UUS), kewajiban credit scoring, serta standar manajemen risiko.
- Fintech lending yang ingin membentuk UUS harus memiliki modal kerja minimal Rp10 miliar, pembukuan terpisah, serta Dewan Pengawas Syariah.
- Aturan ini dapat mempercepat pertumbuhan fintech syariah di Indonesia, meningkatkan kepercayaan publik, dan memperluas akses pembiayaan berbasis prinsip syariah.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kembali menunjukkan komitmennya dalam memperkuat regulasi industri keuangan digital. Melalui Peraturan OJK (POJK) Nomor 40 Tahun 2024 tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI), OJK kini mengizinkan fintech peer-to-peer (P2P) lending untuk membentuk Unit Usaha Syariah (UUS). Langkah ini diyakini akan memberikan dorongan besar bagi perkembangan industri fintech berbasis syariah di Indonesia.
Plt Kepala Departemen Literasi, Inklusi Keuangan, dan Komunikasi OJK, Ismail Riyadi, menjelaskan bahwa aturan baru ini bertujuan memperkuat regulasi yang sudah ada.
“Regulasi ini mencakup penilaian tingkat kesehatan penyelenggara, penguatan manajemen risiko dan tata kelola, serta ketentuan mengenai unit usaha syariah dan kewajiban credit scoring,” ujarnya dalam pernyataan resmi pekan ini.
Syarat ketat untuk UUS
Dalam Pasal 20 POJK 40/2024, fintech lending yang ingin memiliki Unit Usaha Syariah (UUS) diwajibkan untuk mencantumkan maksud dan tujuan penyelenggaraan kegiatan berbasis prinsip syariah dalam anggaran dasar perusahaan. Selain itu, mereka juga harus memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS) serta sistem pembukuan terpisah dari perusahaan induk.
Bagi fintech yang ingin membentuk UUS, ada syarat modal yang cukup ketat. Pasal 21 menyebutkan bahwa modal kerja minimal untuk mendirikan UUS adalah Rp10 miliar. Modal ini harus disisihkan dalam bentuk deposito berjangka di bank syariah atau unit usaha syariah dari bank umum di Indonesia.
“Modal kerja wajib dituangkan dalam surat keputusan Direksi yang disetujui oleh Dewan Komisaris,” demikian isi Pasal 21 ayat (3).
Untuk memperoleh izin, perusahaan juga harus mengajukan permohonan resmi ke OJK, melampirkan dokumen perizinan, serta mempresentasikan model bisnis dan sistem elektronik yang akan digunakan. Jika ada kekurangan dalam dokumen atau model bisnis, OJK berhak meminta perbaikan dalam waktu maksimal 20 hari kerja. Jika dalam periode itu fintech tidak melengkapi dokumen, permohonan dianggap batal.
Langkah OJK ini diharapkan dapat mempercepat pertumbuhan industri fintech syariah yang selama ini terus berkembang pesat. Data dari Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menunjukkan bahwa per Desember 2024, total penyaluran pinjaman fintech lending di Indonesia telah mencapai Rp650 triliun, dengan sekitar 15% di antaranya berasal dari fintech syariah.
Namun, di sisi lain, industri fintech lending juga menghadapi tantangan besar. Kasus gagal bayar dan penipuan di beberapa platform membuat kepercayaan publik sempat menurun. Dengan regulasi baru ini, OJK berharap fintech lending syariah dapat memiliki sistem manajemen risiko yang lebih kuat sehingga dapat memberikan rasa aman bagi para lender maupun borrower.
Ke depan, pelaku industri fintech lending, terutama yang berbasis syariah, harus lebih siap menghadapi berbagai tantangan, termasuk dalam hal persaingan dengan perbankan syariah yang semakin agresif dalam ekspansi digital. Dengan regulasi yang lebih ketat dan ekosistem yang lebih solid, industri fintech syariah diharapkan dapat menjadi pilar utama dalam sistem keuangan digital di Indonesia.
Fintech syariah
Sebagai informasi, fintech syariah adalah layanan keuangan berbasis teknologi digital yang mengikuti prinsip-prinsip syariah. Fintech syariah menawarkan berbagai produk keuangan, seperti pembiayaan dan investasi, yang tidak mengandung riba.
Prinsip-prinsip syariah yang dipatuhi fintech syariah, di antaranya: larangan riba (bunga), larangan gharar (ketidakpastian), larangan maysir (perjudian).
Fintech syariah dapat membantu masyarakat membuat keputusan keuangan yang cerdas berdasarkan prinsip keuangan Islam. ■