digitalbank.id – Bank Indonesia (BI) menyatakan komitmennya akan menindaklanjuti hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait biaya transfer sistem pembayaran ritel BI Fast yang dinilai tidak transparan dan akuntabel.
Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono mengatakan, pihaknya sudah membahas temuan BPK ini secara internal dan berkomitmen untuk menindaklanjuti rekomendasi BPK tersebut. “Pasti kami tindaklanjuti. Karena kan semuanya berniat baik. BPK tentu saja harus menjaga governance, kami akan perbaiki sisi governance-nya,” ujarnya pekan ini.
Sebelumnya BPK melaporkan terdapat permasalahan pada biaya transfer BI Fast Payment (BI Fast). Sistem pembayaran ritel nontunai yang digagas Bank Indonesia (BI) ini dinilai tidak transparan dan akuntabel. Temuan ini tertuang dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) Semester I Tahun 2022 yang diterbitkan oleh BPK RI.
Dalam laporannya, BPK menulis BI telah menetapkan biaya transaksi kredit individual BI FAST melalui Keputusan Deputi Gubernur Bank Indonesia Nomor 23/7/KEP.DpG/2021 tentang Penetapan Biaya Transaksi dalam Penyelenggaraan BI Fast.
Namun, menurut laporan BPK, BI belum memiliki pedoman baku untuk menghitung biaya transfer dana dan belum memiliki peraturan mengenai tata cara pengenaan biaya transfer dana sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang (UU) Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana.
Soal biaya transfer dengan BI Fast, Erwin mengatakan biaya transfer BI Fast sebesar Rp 2.500 antar bank per transaksi termasuk lebih murah dari biaya transfer pada umumnya yang sebesar Rp 6.500 per transaksi. Biaya transfer yang lebih murah juga memiliki tujuan untuk mempercepat digitalisasi sistem pembayaran nasional.
Dia mengatakan dalam menentukan besaran biaya transfer BI Fast, BI tidak hanya mempertimbangkan elemen pengembalian investasi tetapi juga mempertimbangkan elemen kebijakan menyediakan sistem pembayaran yang murah untuk masyarakat guna mempercepat digitalisasi.
“Kalau misakan policy itu dianggap salah rasanya sih enggak lah. Kan digitalisasi itu penting, salah satu percepatan digitalisasi lewat pembayaran. Kalau pembayarannya lebih murah sehingga digitalisasi yang penting itu bisa lebih cepat,” katanya.
Besaran biaya transfer ini menurutnya justru disambut dengan baik oleh masyarakat karena memudahkan masyarakat melakukan transaksi perbankan. “Di publik semua orang senang dengan harga yang lebih murah dan kemudian proses pemindahan dana dari satu bank ke bank lain selain bisa cepat, realtime, 24/7, murah pula,” demikian Erwin.
Meski demikian, BI menghormati hasil pemeriksaan BPK tersebut karena bertujuan agar governance BI Fast bisa menjadi lebih baik kedepannya. Erwin memastikan hasil temuan BPK terhadap BI Fast tak lantas mengancam keberlangsungan pelaksanaan BI Fast saat ini.
“Saya baca laporannya, biasa-biasa saja kok. Cuma perlu ada penyempurnaan gitu. Saya gak tahu mengancamnya gimana. Saya sih gak melihat ke arah situ.”
Bank Indonesia (BI) mencatat total volume transaksi credit transfer menggunakan BI Fast mencapai 224,8 juta selama periode 1 Januari 2022 hingga 24 Agustus 2022. Sejalan dengan itu, tercatat nominal transaksi menggunakan BI Fast pada periode yang sama mencapai Rp810,4 triliun. Bank Indonesia menyatakan akan segera menghubungkan infrastruktur BI Fast dengan sistem Gerbang Pembayaran Nasional atau GPN. Hal tersebut akan meningkatkan integrasi pembayaran digital di ekosistem keuangan Indonesia. (HAN)