digitalbank.id – AKSI korporasi banyak dilakukan perusahaan demi kinerja. Namun kewaspadaan tetap harus diperhatikan. Maka dari itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) wanti-wanti mengingatkan perusahaan rintisan (startup) di sektor finansial (tekfin/fintech) yang berencana menggelar aksi merger atau akuisisi, untuk tetap mematuhi tata kelola yang baik dan memprioritaskan kesehatan keuangan.
Kepala Departemen Pengawasan Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) 2B OJK Bambang W Budiawan mengingatkan bahwa aturan mengenai klaster tekfin yang berada di bawah naungan IKNB OJK, yaitu P2P lending, saat ini masih memungkinkan adanya hubungan sister company dengan tekfin lain apabila sejajar di dalam satu entitas grup. “P2P lending dapat bersinergi dengan perusahaan layanan pendukung fintech lewat akuisisi.
Misalnya, credit scoring, e-KYC, platform tanda tangan digital, dan lain-lain, dengan tujuan seperti tercapainya efisiensi dalam biaya operasional, atau suatu tujuan B2B lainnya. Namun, perlu dicek, apakah dilakukan oleh holding company dari fintech tersebut, atau perusahaan fintech itu sendiri?” ujarnya.
OJK mengimbau suatu P2P lending alias tekfin pendanaan bersama yang telah memiliki kekuatan untuk melakukan aksi akuisisi terhadap entitas tekfin lain, bahkan lembaga keuangan lain, agar tetap mematuhi good corporate governance (GCG). “Apabila holding company fintech akan melakukan akuisisi ke fintech lain, lembaga keuangan lain, atau perusahaan layanan pendukung fintech, diharapkan untuk memperhatikan aspek-aspek seperti conflict of interest, kerahasiaan data, serta GCG.
Adapun, kerja sama antar fintech dalam satu grup tetap harus memiliki kontrak atau perjanjian kerja sama,” tambahnya. Namun, di samping itu, OJK tetap mengimbau agar tekfin yang sudah punya modal jumbo tak lantas terlalu bernafsu untuk menggelar aksi korporasi. Menurut Bambang, entitas fintech baiknya punya pola pikir untuk terus memperbaiki kesehatan keuangan internal sebagai prioritas, dalam rangka turut mendukung kemajuan industri.
Kami mendorong bagi perusahaan fintech yang memiliki surplus capital, dapat dipergunakan untuk kebutuhan pengembangan bisnis, kualitas credit scoring, GCG, dan kualitas layanan. Ini bisa didahulukan, dibandingkan terburu-buru dipergunakan untuk melakukan akuisisi perusahaan atau ekosistem pendukung lain,” tutupnya.
Beberapa aksi korporasi yang turut melibatkan tekfin P2P lending maupun entitas IKNB lain dalam beberapa waktu belakangan. Antara lain, akuisisi ALAMI terhadap BPRS Cempaka Al Amin untuk membuat Bank Hijra, ada juga Grup Modalku terlibat investasi bersama ke Bank Index, serta akuisisi tekfin pembayaran Xendit terhadap Bank Sahabat Sampoerna dan sebuah entitas multifinance hasil merger PT Globalindo Multi Finance dan PT Emas Persada Finance.
Terbaru, ada juga aksi Investree lewat induknya, Investree Singapore Pte Ltd (Investree Group) di Asia Tenggara yang akan mengakuisisi 18,4 persen kepemilikan PT Bank Amar Indonesia Tbk (Amar Bank). Selain itu, baru-baru ini mencuat akuisisi platform inovasi keuangan digital (IKD) di bidang transaction authentication atau e-KYC bertajuk iTruzz oleh Grup Akulaku. Sementara itu, salah satu akuisisi yang belum terealisasi, yaitu rencana platform P2P lending khusus wanita pelaku usaha mikro di pedesaan, PT Amartha Mikro Fintek atau Amartha yang dikabarkan bakal mengakuisisi salah satu bank syariah di Tanah Air.(SAF)