Customer experience dan risiko kejahatan di bank digital

- 20 Desember 2021 - 17:17

Kecuali customer experience, bank-bank digital diimbau agar perhatikan edukasi para nasabahnya.

digitalbank.id — SEJAK LAMA customer experience menjadi kunci untuk merebut hati pelanggan. Customer experience adalah sentimen keseluruhan yang dimiliki konsumen terhadap setiap interaksi dengan brand.

Interaksi ini tidak harus berupa transaksi jual beli, tapi juga bisa berlaku sejak tahap awareness hingga pelayanan. Semakin baik customer experience yang dimiliki konsumen, maka idealnya semakin baik pula pengaruhnya terhadap hasil penjualan.

Hal tersebut dibuktikan oleh sebuah riset dari American Express, yang menunjukkan bahwa sebanyak 60% responden bersedia membayar lebih banyak demi mendapatkan customer experience yang lebih baik. Tentunya dibutuhkan strategi khusus agar brand atau bisnis Anda bisa mencapai customer experience yang optimal.

Namun sedikit berbeda dengan bisnis bank digital. Baru-baru ini Otoritas Jasa Keuangan ( OJK ) mengingatkan, kepada bank digital maupun perbankan yang menggenjot layanan digital agar tidak sekedar berpacu memanjakan nasabah atau customer experience, tapi juga harus mengedukasinya.

Direktur Eksekutif Penelitian dan Pengaturan Perbankan OJK, Anung Herlianto mengingatkan, hal ini sangat krusial karena hacker atau pelaku kejahatan digital akan mengincar pihak terlemah dalam ekosistem perbankan digital yaitu nasabah. “Bank jangan hanya fokus pada customer experience, tapi juga harus mengedukasi. Karena nasabah adalah jantung dalam ekosistem perbankan sekaligus jadi sisi terlemah. Nasabah yang diincar oleh hacker,” ujar Anung.

Dia mengingatkan kembali mengenai risiko kejahatan siber yang saat ini kian mengancam ekosistem keuangan negara-negara dunia. “Bahkan IMF juga mengatakan serangan siber masuk dalam risiko sistem keuangan. Karena itu bank harus memiliki cyber risk management, adjustment, melakukan exercise kehandalan sistem keamanan, serta harus mau melaporkan bila terjadi masalah. Ini untuk bahan pelajaran buat kita semua di industri keuangan,” terangnya.

Masih menurut Anung, OJK sudah memiliki kebijakan yang dituangkan dalam blueprint transformasi digital. Pertama, menyangkut prinsip proteksi data dan kebijakan data transfer. Kedua, kebijakan data governance, kebijakan tata kelola dan arsitektur teknologi informasi. Selain itu ada kebijakan cyber security yang mengacu pada standard internasional.

Kemudian, kebijakan outsourcing atau standar kerjasama bank dan pihak ketiga. Dia menekankan, blue print tersebut dibuat karena perkembangan digital banking dengan seluruh infrastruktur yang menyertainya tentu akan memicu tantangan sendiri ke depan. “Saat ini kita masih dalam masa bulan madu atau euforia bank digital. Karena kita belum mengetahui dengan jelas apa saja risiko yang akan timbul di masa depan,” katanya.

OJK melihat terdapat sejumlah potensi risiko dan tantangan yang harus diantisipasi oleh bank dalam melakukan transformasi operasionalnya dari bisnis tradisional menjadi fully digital. Potensi risiko tersebut terkait dengan data protection dan isu transfer data, risiko strategi yang muncul dari ketidakcocokan strategi IT, cyber security, kebocoran data nasabah.

Lalu, bias algoritma dalam pemanfaatan kecerdasan buatan, IT outsourcing, ketersediaan jaringan telekomunikasi, dan dukungan dari regulatory framework. “Kami dari sisi regulator mendukung pelaku industri agar bank bisa bergerak cepat dalam menyediakan suatu produk atau layanan digital. Namun kami memberikan panduan prinsip-prinsip yang tujuannya nano tetap memperhatikan aspek kehati-hatian,” kata Anung. (SAF)

 

Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.