
Lonjakan ketidakpastian perdagangan, ditambah beban utang yang semakin berat dan pertumbuhan ekonomi yang melambat, mengancam stabilitas negara-negara berkembang. Kepala Ekonom Bank Dunia Indermit Gill memperingatkan bahwa liberalisasi tarif menjadi salah satu solusi mendesak untuk mencegah krisis utang yang lebih luas di tengah meningkatnya tekanan global akibat gelombang tarif baru yang dipimpin Amerika Serikat.
Fokus utama:
- Lonjakan utang negara berkembang menempatkan banyak negara di ambang krisis, diperparah oleh ketidakpastian perdagangan global.
- Pertumbuhan ekonomi global dan arus investasi asing langsung (FDI) ke negara berkembang terus menurun drastis.
- Bank Dunia menyerukan reformasi tarif segera untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan menghindari tekanan utang lebih dalam.
Negara-negara berkembang tampaknya akan segera menghadapi badai sempurna: lonjakan utang, perlambatan pertumbuhan, dan ketidakpastian perdagangan akibat tsunami tarif baru. Chief economist World Bank Indermit Gill, memperingatkan bahwa tanpa langkah konkret, termasuk pelonggaran tarif, risiko krisis utang akan meluas dengan konsekuensi berat bagi ekonomi global.
“Ini adalah perlambatan mendadak di atas kondisi yang memang sudah rapuh,” ujar Gill dalam wawancara dengan Reuters, menyoroti bahwa negara berkembang kini lebih rentan dibandingkan pada era krisis keuangan global 2008 atau pandemi COVID-19.
Gelombang baru tarif yang digelontorkan Presiden AS Donald Trump, telah memicu ketegangan global. Tarik-menarik tarif balasan dari China, Uni Eropa, Kanada, dan negara lain menciptakan ketidakpastian besar. Data terbaru dari Dana Moneter Internasional (IMF) menunjukkan bahwa proyeksi pertumbuhan global 2025 telah direvisi turun menjadi 2,8%, setengah poin di bawah prediksi Januari lalu. IMF juga memperingatkan bahwa eskalasi perang dagang akan memperburuk pelemahan ini.
Sementara itu, indeks ketidakpastian perdagangan melonjak ke level tertinggi sejak satu dekade terakhir, memukul arus investasi ke negara berkembang. “Investasi asing langsung (FDI) yang dulu mencapai 5% dari PDB kini anjlok menjadi hanya 1%,” kata Gill. Portofolio investasi ke emerging markets pun terus melemah, mencerminkan ketidakpercayaan pasar.
Lebih dari separuh dari sekitar 150 negara berkembang kini berada di ambang gagal bayar atau setidaknya menghadapi kesulitan membayar utang mereka. Angka ini dua kali lipat dari situasi pada 2014. Data Bank Dunia menunjukkan bahwa pembayaran bunga bersih terhadap PDB di negara berkembang kini mencapai 12%, naik dari 7% satu dekade lalu. Negara-negara berpendapatan rendah bahkan harus mengalokasikan 20% PDB mereka hanya untuk membayar bunga utang, dibandingkan 10% pada 2014.
“Jika pertumbuhan global melambat, perdagangan melesu, dan suku bunga tetap tinggi, makin banyak negara—termasuk eksportir komoditas—yang akan terjerembab dalam krisis utang,” tegas Gill.
Dalam kondisi ini, negara-negara berkembang terpaksa memangkas belanja untuk sektor vital seperti pendidikan dan kesehatan, memperburuk prospek pembangunan jangka panjang mereka. Beban tambahan ini juga membuat negara-negara tersebut semakin sulit untuk mengakses pembiayaan baru karena risiko gagal bayar yang membayangi.
Gill menegaskan bahwa saat ini adalah momentum kritis bagi negara berkembang untuk bergerak cepat. Ia mendorong pemerintah-pemerintah tersebut untuk menegosiasikan kesepakatan dagang dengan Amerika Serikat guna menurunkan tarif mereka sendiri, sekaligus memperluas akses pasar secara global.
“Ini adalah krisis yang diciptakan kebijakan, sehingga pada prinsipnya bisa diatasi lewat perubahan kebijakan juga,” katanya.
Simulasi Bank Dunia menunjukkan bahwa pelonggaran tarif dapat meningkatkan pertumbuhan secara signifikan di banyak negara berkembang, membuka peluang untuk menarik kembali investasi dan mendorong perdagangan yang lebih sehat.
Di tengah ekspektasi inflasi yang tetap tinggi dan suku bunga yang sulit turun dalam waktu dekat, opsi pelonggaran tarif dipandang sebagai salah satu langkah praktis untuk membalikkan tren pelemahan ekonomi ini.
Sejalan dengan itu, Gill memperingatkan bahwa negara-negara yang terlambat melakukan reformasi tarif berisiko mengalami spiral utang yang lebih dalam, mempersempit ruang fiskal mereka, dan memperburuk ketimpangan ekonomi global.
Menurut data dari Institute of International Finance (IIF), total utang negara-negara berkembang mencapai rekor US$104 triliun pada awal 2025, meningkat sekitar US$10 triliun dibandingkan dua tahun sebelumnya. Penelitian McKinsey Global Institute juga menyoroti bahwa biaya layanan utang (debt servicing cost) menjadi salah satu penghambat utama pertumbuhan di negara berkembang.
IMF memperkirakan bahwa dengan situasi tarif global yang tidak membaik, pertumbuhan perdagangan dunia pada 2025 hanya akan berada di kisaran 1,5%, jauh di bawah rata-rata 8% pada era 2000-an. ■