Likuiditas di bawah tekanan, pertumbuhan DPK perbankan Maret 2025 cuma 4,75%

- 25 April 2025 - 08:04

Pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan Indonesia kembali melambat pada Maret 2025 menjadi 4,75% secara tahunan, setelah sempat menguat dua bulan sebelumnya. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI) mulai menyoroti tantangan sektor perbankan dalam mengumpulkan dana, di tengah dorongan kuat terhadap penyaluran kredit dan risiko ekonomi global yang membayangi.


Fokus utama:

  1. Pertumbuhan dana masyarakat yang dihimpun bank kembali melambat meski permintaan kredit masih kuat.
    2 Rasio loan to deposit (LDR) meningkat, mengindikasikan tekanan likuiditas pada sistem perbankan.
  2. Perbankan dihadapkan pada tantangan menjaga keseimbangan likuiditas sambil tetap agresif menyalurkan kredit dalam kondisi ekonomi yang tak pasti.

Setelah dua bulan berturut-turut mencatat pertumbuhan yang menguat, Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan Indonesia kembali menunjukkan tanda-tanda pelambatan pada Maret 2025. Berdasarkan data terbaru Otoritas Jasa Keuangan (OJK), DPK hanya tumbuh 4,75% secara tahunan (year-on-year/yoy), menjadi Rp9.010 triliun.

“Dana pihak ketiga perbankan atau DPK perbankan tercatat tumbuh 4,75% menjadi Rp9.010 triliun,” ujar Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar dalam konferensi pers hasil Rapat Berkala Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) II 2025, Kamis (24/4).

Secara rinci, pertumbuhan instrumen DPK seperti giro tumbuh 4,01% yoy, tabungan 7,74% yoy, dan deposito hanya 2,89% yoy. Angka ini menunjukkan bahwa dorongan penghimpunan dana masyarakat belum mampu mengimbangi pertumbuhan penyaluran kredit yang masih tinggi.

Sebagai perbandingan, DPK pada Desember 2024 hanya tumbuh 4,48% yoy. Namun kemudian melonjak pada Januari 2025 menjadi 5,51%, dan Februari mencatatkan kenaikan lebih lanjut menjadi 5,75%. Artinya, Maret menjadi titik awal perlambatan kembali, mengisyaratkan potensi tantangan struktural dalam pengumpulan dana perbankan.

Kondisi ini tidak berdiri sendiri. Bank Indonesia (BI) sehari sebelumnya telah memberi sinyal waspada terhadap kemampuan perbankan dalam mengumpulkan pendanaan. “Minat penyaluran kredit dan kondisi likuiditas masih cukup memadai, meskipun sejumlah bank mulai menghadapi kendala dalam meningkatkan pendanaan,” kata Gubernur BI Perry Warjiyo pada Rabu (23/4).

Keinginan perbankan untuk menyalurkan kredit tetap tinggi. Namun, kemampuan menghimpun dana dari masyarakat belum sepenuhnya menopang permintaan kredit tersebut. Tekanan ini semakin terasa ketika dilihat dari rasio loan to deposit (LDR) industri yang saat ini berada di kisaran 90%.

Data OJK menunjukkan, LDR perbankan per Februari 2025 berada di level 87,67%, meningkat dari 84,05% pada Februari 2024. Artinya, setiap Rp100 dana yang dihimpun, sekitar Rp88 disalurkan sebagai kredit—menandakan ruang likuiditas yang semakin sempit.

Wakil Ketua Umum I Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas) Alexandra Askandar menilai tantangan DPK ini tidak bisa dilepaskan dari tekanan eksternal. Salah satunya, dampak kebijakan tarif resiprokal Amerika Serikat yang melemahkan sejumlah sektor ekonomi domestik.

“Ada sektor yang memang secara langsung terdampak dengan adanya policy tariff ini. Tapi banyak sektor lain yang juga masih terbuka, ada ruang untuk pertumbuhannya (pertumbuhan kredit),” kata Alexandra, yang juga menjabat sebagai Wakil Direktur Utama PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BNI) seperti diberitakan Antara.

Namun demikian, Alexandra juga menggarisbawahi bahwa dari sisi suplai kredit, perbankan kini dihadapkan pada tantangan likuiditas. Kecepatan penyaluran kredit di masa mendatang sangat bergantung pada kemampuan menjaga keseimbangan dana. Ia pun mengingatkan agar bank tetap menjaga kualitas asetnya di tengah bayang-bayang pelambatan ekonomi global yang kian nyata.

Dalam kondisi global yang tidak menentu—mulai dari ketegangan geopolitik, perlambatan ekonomi China, hingga fluktuasi suku bunga The Fed—perbankan nasional perlu lebih waspada. Pasalnya, tekanan pada likuiditas dan ketidakpastian eksternal berpotensi menekan margin keuntungan sekaligus meningkatkan risiko kredit bermasalah.

Mengacu pada laporan IMF per April 2025, ketidakpastian global tetap tinggi dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia hanya 3,2% tahun ini. Sementara itu, sektor perbankan Indonesia masih bergantung pada pendanaan domestik dengan dominasi DPK sebagai sumber utama, menyumbang lebih dari 70% total pendanaan perbankan nasional.

Laporan McKinsey tahun 2024 juga menyebut bahwa perbankan di ASEAN tengah beralih ke model pendanaan yang lebih beragam, termasuk melalui surat utang dan kemitraan fintech. Namun, transisi ini belum optimal di Indonesia, yang masih bergantung besar pada dana masyarakat.

Melambatnya pertumbuhan DPK menjadi sinyal peringatan bagi sektor keuangan Indonesia. Meskipun kondisi likuiditas saat ini belum tergolong genting, tren yang mengarah pada penyempitan ruang gerak likuiditas perlu diantisipasi. Koordinasi antara OJK, BI, dan pelaku industri perbankan menjadi kunci untuk mencegah krisis likuiditas yang lebih serius.

Seiring dengan tekanan eksternal dan perlambatan global, strategi perbankan dalam menjaga stabilitas likuiditas sambil tetap tumbuh secara berkelanjutan akan menjadi tantangan utama dalam semester II 2025. ■

Comments are closed.