Tak gentar ditekan AS, Indonesia malah ekspansi QRIS ke China dan Arab Saudi

- 24 April 2025 - 17:02

Bank Indonesia terus memperluas jangkauan sistem pembayaran digital QRIS ke berbagai negara, termasuk Tiongkok dan Arab Saudi, meski menghadapi kritik dari Amerika Serikat. Di tengah tekanan geopolitik dan ekonomi, Indonesia menegaskan kedaulatan digitalnya melalui ekspansi sistem pembayaran lintas batas yang telah digunakan 56,3 juta pengguna dengan volume transaksi Rp262,1 triliun.


Fokus utama:

  1. Ekspansi QRIS lintas negara (cross-border) ke Asia hingga Timur Tengah, memperkuat posisi Indonesia dalam sistem pembayaran global.
  2. Kritik Amerika Serikat terhadap regulasi QRIS sebagai bentuk hambatan perdagangan dan eksklusi perusahaan asing.
  3. Upaya Bank Indonesia memperkuat kedaulatan digital serta inklusi ekonomi domestik melalui standar global QRIS.

Di tengah sorotan tajam dari Amerika Serikat, Indonesia tetap melaju memperluas sistem pembayaran digital QRIS ke berbagai negara, dari Asia hingga Timur Tengah. Langkah ini bukan hanya soal transaksi, melainkan pernyataan tegas atas kedaulatan digital dan ambisi menjadi kekuatan finansial regional.

Terlepas dari tekanan diplomatik dan kritik Amerika Serikat, Bank Indonesia (BI) menegaskan komitmennya untuk memperluas jaringan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) ke berbagai negara. Dalam waktu dekat, QRIS akan terhubung dengan Jepang, India, Korea Selatan, Tiongkok, hingga Arab Saudi—membangun jembatan sistem pembayaran lintas negara yang semakin luas.

“Negara-negara yang sudah terkoneksi saat ini adalah Singapura, Malaysia, dan Thailand. Kami segera menyusul dengan Jepang, India, Korea Selatan, lalu mungkin Tiongkok dan Arab Saudi,” ujar Deputi Gubernur BI Filianingsih Hendarta dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur BI, Rabu (23/4).

Menurut Filianingsih, hingga kuartal I-2025, pengguna QRIS telah menembus 56,3 juta dengan volume transaksi 2,6 miliar dan nilai mencapai Rp262,1 triliun. Jumlah merchant telah mencapai 38,1 juta, mayoritas berasal dari sektor UMKM. “QRIS ini sudah digunakan secara masif, dari masyarakat bawah hingga kelas atas. Ini benar-benar menjadi game changer dalam sistem pembayaran Indonesia,” ujarnya.

Pertumbuhan transaksi QRIS bahkan melesat 169,15% secara tahunan (year-on-year) seiring meningkatnya adopsi pengguna dan pelaku usaha. Inovasi ini dinilai menjadi pilar penting dalam menciptakan interkoneksi dan interoperabilitas sistem pembayaran, baik di dalam negeri maupun lintas negara.

Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan bahwa QRIS disusun berdasarkan standar internasional, yakni European Master Visa. “QRIS adalah standar Indonesia yang kita adopsi dari standar global,” tegas Perry. Ia menambahkan bahwa sistem ini tidak hanya meningkatkan efisiensi transaksi, tetapi juga memperluas inklusi keuangan, terutama untuk kelompok masyarakat yang selama ini sulit terjangkau layanan keuangan formal.

Namun di tengah keberhasilan itu, Pemerintah AS menyampaikan keberatan melalui Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR). Dalam laporan terbarunya, USTR menyebut penggunaan QRIS sebagai hambatan perdagangan. AS menilai, pengembangan QRIS dilakukan tanpa pelibatan perusahaan-perusahaan jasa keuangan asing, termasuk dari AS.

“Perusahaan-perusahaan AS, termasuk penyedia pembayaran dan bank, mencatat kekhawatiran bahwa selama proses pembuatan kebijakan kode QR BI, para pemangku kepentingan internasional tidak diberi tahu tentang sifat perubahan potensial atau diberi kesempatan untuk menjelaskan pandangan mereka,” demikian pernyataan resmi USTR.

Menanggapi tudingan itu, BI tetap kukuh. Perry menegaskan bahwa standar QRIS dirumuskan oleh industri dalam negeri dengan mengikuti panduan dari bank sentral, demi menjawab kebutuhan nasional. “Semua ini adalah hasil kesepakatan nasional. QRIS bukan untuk menutup diri dari luar, tapi untuk memperkuat kedaulatan digital kita,” katanya.

Langkah BI memperluas QRIS juga dinilai sejalan dengan tren global. Menurut data dari Bank for International Settlements (BIS), sistem pembayaran lintas batas diproyeksikan menjadi tulang punggung transaksi ekonomi internasional, dengan nilai pasar global yang bisa mencapai lebih dari US$250 triliun pada 2027.

Di sisi lain, analis menilai, protes AS terhadap QRIS mencerminkan kekhawatiran lebih besar atas meningkatnya dominasi sistem domestik di negara-negara berkembang yang dapat menggeser dominasi platform global seperti Visa, Mastercard, dan PayPal.

Sementara itu, Komisi XI DPR RI menyatakan dukungan penuh atas langkah BI. “Kedaulatan digital adalah hak Indonesia sebagai bangsa merdeka. Kita tidak bisa terus-menerus bergantung pada sistem luar yang belum tentu sesuai dengan kepentingan nasional,” kata anggota Komisi XI Marwan Cik Asan, dari Fraksi Demokrat.

Seiring ekspansi QRIS, Indonesia tak hanya menawarkan efisiensi dan inklusi ekonomi domestik, tetapi juga sedang memosisikan diri sebagai pemain penting dalam peta sistem pembayaran digital global. Di dunia yang makin terkoneksi, QRIS menjadi simbol arah baru diplomasi teknologi dan kedaulatan digital Indonesia. ■

Comments are closed.