QRIS dan GPN dikecam AS, DPR dukung langkah pemerintah pertahankan kedaulatan digital

- 24 April 2025 - 15:41

Pemerintah Indonesia mendapat tekanan dari Amerika Serikat terkait penerapan QRIS dan GPN yang dinilai menghambat perdagangan digital. Namun, DPR menegaskan dukungan terhadap kedaulatan digital dan pentingnya sistem pembayaran nasional yang inklusif dan efisien. Indonesia berpeluang menjadi pelopor dalam integrasi sistem pembayaran regional dan memperkuat posisi diplomatiknya di ranah global.


Fokus utama:

  1. DPR mendukung penuh langkah pemerintah dalam mempertahankan kedaulatan digital di tengah kritik Amerika Serikat atas kebijakan QRIS dan GPN.
  2. QRIS dan GPN dinilai strategis dalam memperkuat ekonomi digital nasional, mendukung UMKM, dan menciptakan sistem pembayaran yang mandiri.
  3. Integrasi sistem pembayaran nasional dengan negara-negara Asia Tenggara dapat menjadi strategi diplomasi ekonomi yang memperkuat posisi Indonesia di forum internasional.

Tekanan diplomatik dari Amerika Serikat terhadap kebijakan pembayaran digital Indonesia tak membuat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) gentar. Dalam respons tegas, Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat, Marwan Cik Asan, menyatakan bahwa pemerintah harus berdiri teguh dalam menegakkan kedaulatan digital dan melindungi kepentingan nasional.

Pernyataan ini muncul menyusul kritik dari Washington yang menilai sistem pembayaran digital Indonesia—terutama Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN)—menghambat perdagangan luar negeri AS.

Dalam laporan tahunan Office of the United States Trade Representative (USTR), dua kebijakan itu disebut berpotensi menjadi hambatan perdagangan dalam sektor digital dan elektronik.

“Kami mendorong pemerintah untuk terus berdiri tegak pada prinsip kedaulatan digital dan perlindungan kepentingan nasional, namun tetap mengedepankan komunikasi yang terbuka, berbasis data, dan kolaboratif dengan mitra-mitra internasional,” ujar Marwan kepada wartawan, Kamis (24/4).

Ia menekankan pentingnya posisi Indonesia dalam ekosistem keuangan digital global. Menurutnya, QRIS dan GPN bukan sekadar kebijakan domestik, melainkan bagian dari transformasi strategis yang memperkuat kemandirian sistem pembayaran nasional serta memperluas akses keuangan inklusif, khususnya bagi UMKM dan masyarakat di daerah terpencil.

“Ini adalah kebijakan yang bukan hanya strategis, tetapi juga mendesak di era disrupsi ekonomi global,” kata Marwan. Ia menambahkan bahwa sebelum adanya GPN dan QRIS, transaksi dalam negeri bergantung pada jaringan internasional dan kerap dibebani biaya tinggi—situasi yang memberatkan pelaku usaha kecil.

Data terbaru Bank Indonesia menunjukkan bahwa hingga kuartal pertama 2025, transaksi QRIS mencapai lebih dari Rp40 triliun dengan lebih dari 42 juta merchant terdaftar. Angka ini tumbuh signifikan dari hanya sekitar Rp13 triliun pada 2022. QRIS juga telah diuji coba dalam skema konektivitas lintas negara, termasuk dengan Singapura (SGQR) dan Thailand (PromptPay).

Menurut Marwan, langkah pemerintah memperluas konektivitas QRIS ke negara lain seperti Tiongkok, Arab Saudi, dan Jepang adalah bagian dari strategi regionalisasi yang bisa meningkatkan posisi tawar Indonesia dalam forum global. “Integrasi QRIS dengan sistem pembayaran regional seperti SGQR dan PromptPay dapat menjadi pijakan awal untuk kolaborasi yang lebih luas di kawasan Asia Tenggara, sebelum masuk ke skema global,” ucapnya.

Meski demikian, Marwan menegaskan bahwa dialog tetap perlu dibuka. “Indonesia tidak menutup ruang konsultasi. Justru kita perlu menjelaskan bahwa QRIS dan GPN bukan hambatan perdagangan, melainkan bagian dari transformasi menuju sistem pembayaran yang efisien dan inklusif,” katanya.

Ia pun menyebut bahwa Indonesia dapat menawarkan QRIS sebagai model interoperabilitas regional yang dapat diterapkan di negara berkembang lain, sekaligus memperkuat diplomasi ekonomi. “Standar QRIS dapat dipromosikan sebagai model interoperabilitas regional dan global,” ujarnya.

Sejumlah analis menilai bahwa perseteruan ini tidak lepas dari persaingan pengaruh antara negara-negara besar dalam mengontrol sistem pembayaran digital global. AS selama ini memiliki dominasi melalui jaringan seperti Visa dan Mastercard, sementara negara berkembang seperti Indonesia tengah mendorong sistem domestik yang lebih independen.

Dalam jangka panjang, langkah Indonesia akan menjadi studi kasus penting: apakah negara berkembang bisa menjaga kedaulatan digitalnya tanpa terperangkap dalam tekanan geopolitik kekuatan besar. ■

Comments are closed.