
Grup UOB menunjukkan komitmennya terhadap pembiayaan berkelanjutan dengan menyalurkan US$58 miliar hingga akhir 2024. Dari total tersebut, sektor kelapa sawit menjadi yang terdepan, dengan mayoritas pendanaan berfokus pada perdagangan berkelanjutan. Sektor ini, yang terus berkembang di Indonesia, memiliki potensi yang lebih baik dibandingkan Malaysia berkat usia tanaman kelapa sawit yang lebih muda, sehingga menjanjikan produktivitas yang lebih tinggi. Meski harga CPO melonjak, sektor kelapa sawit menghadapi tantangan stagnasi produksi, yang mempengaruhi harga tandan buah segar (TBS). UOB juga memperlihatkan alokasi dana lainnya, seperti untuk pinjaman hijau, sustainability-linked loans, dan trade finance.
Fokus utama
- Grup UOB mengalokasikan US$58 miliar untuk mendukung berbagai sektor dalam pembiayaan berkelanjutan, dengan porsi terbesar untuk kelapa sawit, yang menjadi primadona dalam portofolio perdagangan berkelanjutan mereka.
- Indonesia memiliki keuntungan dalam sektor kelapa sawit berkat tanaman yang lebih muda dibandingkan dengan Malaysia, yang memungkinkan produktivitas yang lebih baik. Ini membuka peluang besar bagi bank untuk terus mendukung sektor ini.
- Harga CPO yang terus meningkat telah memberikan dampak pada harga tandan buah segar (TBS), meski sektor kelapa sawit menghadapi stagnasi dalam produksi. Hal ini menjadi perhatian bagi pelaku industri dan sektor keuangan.
Grup UOB terus memperkuat posisinya dalam pembiayaan berkelanjutan, dengan mencatatkan US$58 miliar hingga akhir 2024. Angka ini mencerminkan tekad bank untuk mendukung sektor-sektor yang berorientasi pada keberlanjutan, dengan pembiayaan yang tersebar di berbagai sektor, termasuk energi, properti, dan kelapa sawit.
Ernest Tan, Kepala Consumer Goods di UOB, menjelaskan bahwa dari total pembiayaan berkelanjutan tersebut, sebanyak US$7 miliar dialokasikan untuk perdagangan berkelanjutan, dan sebagian besar berasal dari sektor kelapa sawit. Sektor ini, menurut Ernest, terus berkembang pesat, menjadikannya salah satu yang terdepan dalam portofolio perdagangan berkelanjutan UOB. “Mayoritas dari US$7 miliar ini berasal dari sektor minyak kelapa sawit,” ujarnya pada pertemuan yang diadakan di Jakarta, pekan ini.
Kelapa sawit sendiri menjadi sorotan karena memiliki potensi yang sangat besar di Indonesia, yang memiliki tanaman kelapa sawit yang lebih muda dibandingkan dengan Malaysia. Keuntungan ini memungkinkan Indonesia untuk memaksimalkan produktivitas, yang sejalan dengan strategi UOB dalam menyalurkan pembiayaan. “Peluang di Indonesia lebih maju,” kata Ernest, menunjukkan optimisme terhadap sektor ini.
Lebih lanjut, laporan yang disampaikan oleh UOB mengungkapkan bahwa pembiayaan hijau mereka terbagi dalam beberapa kategori: 55% untuk pinjaman hijau, 29% untuk sustainability-linked loans, dan 12% untuk pembiayaan perdagangan berkelanjutan. Sebesar 1% dialokasikan untuk transition finance, yang mendukung transisi menuju ekonomi rendah emisi, sementara 3% digunakan untuk social loans yang memberikan dampak positif secara sosial.
Selain itu, harga minyak kelapa sawit (CPO) yang terus mengalami kenaikan juga menjadi fokus utama. Mukti Sardjono, Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), mengungkapkan bahwa harga CPO pada 20 Februari 2025 tercatat mencapai US$1.270 per ton. Angka ini menunjukkan kenaikan signifikan dibandingkan dengan harga minyak lainnya, seperti minyak kedelai (US$1.102 per ton) dan minyak bunga matahari (US$1.240 per ton).
Namun, kenaikan harga ini juga membawa tantangan, terutama bagi para petani dan pelaku industri, karena stagnasi dalam tingkat produksi dan produktivitas yang semakin melambat. Mukti mengingatkan bahwa meskipun harga CPO terus meningkat, sektor kelapa sawit masih menghadapi masalah dalam hal produktivitas dan replanting yang tidak berjalan secepat yang diharapkan.
Pada sektor pembiayaan, UOB menunjukkan bahwa meskipun kelapa sawit menjadi sektor utama dalam portofolio pembiayaan berkelanjutan, mereka juga menyalurkan dana untuk sektor-sektor lain seperti real estat (61%), energi dan kimia (6%), serta teknologi dan infrastruktur. Pembiayaan ini tidak hanya difokuskan pada sektor agrikultur, tetapi juga mencakup proyek-proyek yang berkontribusi pada pengurangan emisi karbon dan pembangunan berkelanjutan.
Geografis, Singapura tetap menjadi negara dengan alokasi pembiayaan hijau terbesar, mencatatkan 59% dari total pembiayaan. Tiongkok berada di posisi kedua dengan 15%, sementara ASEAN memiliki porsi 10% dan negara-negara lainnya menyumbang 16%. UOB menunjukkan bahwa strategi mereka untuk mendukung sektor keberlanjutan ini tidak hanya berlaku di Indonesia tetapi juga di negara-negara di kawasan ASEAN dan Tiongkok, yang menjadi pasar utama bagi pembiayaan hijau.■