
Amerika Serikat memprotes sistem pembayaran digital Indonesia, QRIS, yang dinilai membatasi akses perusahaan pembayaran asing seperti Visa dan Mastercard. Bank Indonesia menegaskan keterbukaan terhadap kerja sama internasional, asalkan mitra siap. Di balik protes AS, transaksi QRIS justru tumbuh signifikan. Ketegangan ini membuka perdebatan soal kedaulatan sistem keuangan digital nasional versus tuntutan liberalisasi global.
Fokus utama:
- Protes resmi Amerika Serikat terhadap regulasi QRIS dan sistem pembayaran Indonesia.
- Tanggapan Bank Indonesia yang menegaskan keterbukaan tetapi tetap menjunjung kedaulatan nasional.
- Pertumbuhan pesat transaksi QRIS dan dampaknya bagi ekosistem pembayaran domestik.
Ketegangan baru muncul dalam hubungan dagang Indonesia-Amerika Serikat. Kali ini, sistem pembayaran digital nasional—QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard)—menjadi sorotan Washington. Pemerintah AS, melalui Kantor Perwakilan Dagang (USTR), menuding Indonesia membatasi akses perusahaan asing dalam ekosistem keuangan digital, termasuk layanan switching dalam jaringan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN).
Dalam laporan tahunan berjudul 2025 National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers, USTR menyebut Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 21/2019 sebagai hambatan yang menghalangi masuknya perusahaan pembayaran asal AS seperti Visa dan Mastercard.
“Para pemangku kepentingan internasional tidak diberi kesempatan untuk menyampaikan pandangan mereka dalam proses penyusunan kebijakan sistem QR BI,” tulis USTR.
Protes ini tak berhenti di QRIS. AS juga menyoal pembatasan kepemilikan asing sebesar 20% dalam layanan switching GPN, sebagaimana diatur PBI No. 19/10/PADG/2017. Aturan itu mewajibkan perusahaan asing untuk menjalin kemitraan lokal dan mentransfer teknologi, sebagai syarat berpartisipasi dalam sistem pembayaran domestik.
Menanggapi laporan USTR, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Destry Damayanti menegaskan bahwa Indonesia tidak pernah menutup diri terhadap kerja sama internasional, termasuk dengan AS. “Kalau Amerika siap, kita (Indonesia) siap, kenapa tidak (untuk kerja sama)?” ujarnya di Jakarta, Senin (21/4), seperti dikutip Antara.
Destry juga menepis tudingan bahwa perusahaan AS tersisih dalam sistem pembayaran Indonesia. “Sampai sekarang kartu kredit yang selalu direbutin Visa dan Mastercard kan masih juga dominan. Jadi itu tidak ada masalah sebenarnya,” jelasnya.
Ia menekankan bahwa sistem pembayaran digital seperti QRIS dan fast payment dibangun atas prinsip inklusivitas dan efisiensi, tetapi tetap memperhatikan kesiapan infrastruktur dan ekosistem nasional. Kerja sama lintas negara, menurutnya, sangat mungkin terjadi bila regulasi dan kesiapan kedua pihak sejalan.
Di tengah polemik internasional, QRIS justru menunjukkan performa impresif. Menurut data Bank Indonesia, volume transaksi QRIS melonjak 163,32% (year-on-year) pada Februari 2025. Pertumbuhan ini ditopang oleh peningkatan jumlah pengguna dan merchant, yang kini menjangkau pedagang kecil di warung hingga ritel besar di kota-kota besar.
BI mencatat, hingga awal 2025, terdapat lebih dari 43 juta merchant yang telah mengadopsi QRIS. Pemerintah juga terus mendorong digitalisasi ekonomi melalui integrasi QRIS dengan layanan transportasi, UMKM, hingga pembayaran pajak dan retribusi daerah.
Isu ini membuka perdebatan lebih luas mengenai seberapa besar ruang negara untuk mengatur sistem keuangan digitalnya sendiri, di tengah tuntutan liberalisasi pasar dari negara-negara maju? Di satu sisi, AS menekankan prinsip keterbukaan dan persaingan. Namun di sisi lain, negara berkembang seperti Indonesia menegaskan pentingnya kedaulatan digital dan perlindungan industri dalam negeri.
Pakar ekonomi digital dari INDEF, Nailul Huda, menyebut bahwa tudingan AS terhadap QRIS tidak lepas dari kepentingan bisnis besar. “Visa dan Mastercard tentu tak ingin kehilangan dominasi. QRIS sebagai sistem pembayaran nasional bisa mengganggu posisi mereka jika terus berkembang,” ujarnya.
Meski begitu, Indonesia tetap perlu memastikan agar regulasi domestik tidak mengarah ke proteksionisme yang berlebihan. Kolaborasi dengan mitra global tetap penting untuk mendorong interoperabilitas sistem pembayaran lintas negara.
Sejumlah negara di ASEAN, seperti Thailand dan Singapura, sudah mulai membangun interoperabilitas QR code antarnegara untuk mendukung pariwisata dan transaksi lintas batas. Indonesia pun menjajaki kerja sama serupa dengan Malaysia dan Filipina. Namun semua ini tetap harus berjalan atas dasar kesetaraan, bukan tekanan.
Bank Indonesia, bersama OJK dan Kominfo, saat ini menghadapi tantangan besar, yakni menjaga kedaulatan sistem pembayaran nasional sekaligus membangun ekosistem digital yang terbuka dan kompetitif secara global. ■