Pengamat menilai pendekatan berbasis profesi bisa jadi alternatif dalam penyaluran KPR subsidi

- 21 April 2025 - 15:25

Pemerintah tengah mengeksplorasi pendekatan berbasis profesi sebagai alternatif untuk mempercepat penyaluran KPR Subsidi, menyasar kelompok seperti guru, tenaga kesehatan, dan pekerja informal. Menurut pengamat properti Ali Tranghanda, skema ini potensial namun memerlukan implementasi yang hati-hati karena kebutuhan tiap profesi berbeda. Penolakan dari asosiasi jurnalis menyoroti risiko konflik kepentingan dan perlunya kebijakan inklusif. Di sisi lain, ketersediaan rumah subsidi sudah mencukupi, namun distribusi dan pembiayaan masih menjadi kendala utama. Ali menekankan pentingnya sinergi antara suplai, pembiayaan, dan kebijakan agar program KPR Subsidi benar-benar menjawab krisis backlog perumahan di Indonesia.


Fokus utama:

  1. Pendekatan berbasis profesi sebagai alternatif penyaluran KPR Subsidi dan tantangannya.
  2. Tantangan struktural dalam penyaluran KPR Subsidi, termasuk pekerja informal dan keterbatasan kebijakan.
  3. Kritik dari asosiasi profesi wartawan terhadap program rumah subsidi dan urgensi perbaikan kebijakan perumahan.

Pemerintah sampai hari ini tampaknya masih terus mencari formula paling efektif untuk mempercepat penyaluran Kredit Pemilikan Rumah (KPR) Subsidi, salah satunya dengan pendekatan berbasis profesi. Skema ini menyasar kelompok-kelompok profesi tertentu—seperti guru, tenaga kesehatan, wartawan hingga pekerja sektor informal—dengan harapan penyaluran bantuan perumahan menjadi lebih tepat sasaran.

Ali Tranghanda, pengamat properti, menilai pendekatan profesi adalah salah satu alternatif untuk mempercepat penyerapan kuota KPR Subsidi. “Ini salah satu cara agar kuota penyaluran KPR Subsidi dapat dirasakan kalangan profesi tersebut, meskipun efektivitasnya belum bisa dipastikan apakah lebih baik dari pendekatan konvensional,” ujarnya.

Menurut Ali, skema ini memang menawarkan peluang percepatan penyaluran, namun keberhasilannya sangat bergantung pada implementasi di lapangan.

Meskipun skema KPR Subsidi yang diberikan pemerintah bersifat seragam, kebutuhan dan kemampuan finansial tiap profesi sebenarnya sangat bervariasi. “Prioritas kuota memang sudah disiapkan, namun kemampuan tiap profesi berbeda-beda. Tapi harusnya, dengan cicilan yang lebih ringan, kelompok-kelompok ini memiliki daya beli yang cukup,” kata Ali.

Salah satu tantangan utama dalam penyaluran KPR Subsidi adalah menjangkau pekerja sektor informal seperti pengemudi ojek online atau sopir taksi. “Masalah utamanya adalah syarat formal seperti slip gaji dan NPWP, yang sering tidak dimiliki oleh kelompok ini,” jelas Ali.

Namun, ia memberikan alternatif solusi misalnya melalui asosiasi atau koperasi. “Jika ada asosiasi, koperasi, atau perusahaan yang dapat menjamin dan membuktikan penghasilan mereka, maka penyaluran tetap bisa dilakukan, tentu dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian karena penghasilan mereka tidak tetap.”

Mengenai program pembangunan rumah bersubsidi, Ali menilai dari sisi supply, para pengembang sudah cukup siap. “Saat ini banyak rumah subsidi ready stock yang belum terserap karena keterbatasan kuota,” ungkapnya. Hal ini menunjukkan bahwa masalah utama bukan pada kesiapan unit, melainkan pada sistem distribusi dan dukungan pembiayaan.

Ditanya soal kekhawatiran pendekatan profesi yang bisa menciptakan kesan diskriminatif, Ali membantahnya. “Ini hanya alternatif bagi kalangan profesi, bukan diskriminasi. Justru ini percepatan agar mereka yang tergolong Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) bisa segera memiliki hunian,” tegasnya.

Soal adanya penolakan dari beberapa asosiasi profesi wartawan, dia mengatakan tidak masalah. “Beberapa asosiasi wartawan memang menolak dan mengangkat isyu independensi. “Saya kira, itu pilihan mereka, nggak masalah, inilah demokrasi. Tapi, PWI [Persatuan Wartawan Indonesia] sebagai asosiasi wartawan terbesar kan mau menerima, saya kira sudah mewakili,” tuturnya.

Menurut Ali, Indonesia masih menghadapi tantangan besar untuk mengatasi krisis backlog perumahan. Ali menekankan pentingnya peningkatan kuota Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). “Kuota FLPP tiap tahun cepat habis, bahkan bisa di pertengahan tahun. Idealnya, pemerintah menyediakan 400.000–500.000 unit per tahun,” ungkapnya.

Selain itu, ketersediaan lahan murah menjadi hambatan besar. “Bank tanah dari pemerintah menjadi solusi penting karena lokasi proyek FLPP saat ini banyak yang terlalu jauh dan kurang layak huni.”

Lebih lanjut Ali mengatakan agar program ini berkelanjutan dan benar-benar berdampak jangka panjang, ada Ali tiga pilar utama yanh mesti diperhatikan.

“Pertama, aspek supply, yakni dengan menjaga ketersediaan lahan dan lokasi rumah FLPP yang layak dan dekat pusat aktivitas ekonomi. Kedua, aspek pembiayaan guna memastikan keberlanjutan pendanaan dari berbagai sumber seperti perbankan, Tapera, SMF, hingga BPJS Ketenagakerjaan. Ketiga, aspek kebijakan. Kebijakan yang ada harus mendorong insentif yang tak hanya menyasar MBR, tetapi juga kalangan menengah perkotaan yang saat ini kesulitan mengakses hunian,” papar Ali.

Sayangnya, kata dia, kebijakan saat ini yang diambil, sedikit sekali melibatkan masyarakat atau pihak lain yang paham soal perumahan. “Sehingga kebijakan yang ada terkesan ‘semaunya’ dan dikeluarkan mendadak tanpa persiapan. Ini saya kira agak mengganggu karena bisa menjadi seremonial saja, tidak efektif,” tandas Ali.

Sebelumnya diberitakan AJI, IJTI dan PFI menolak program rumah bersubsidi bagi jurnalis. Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Nany Afrida, menyatakan bahwa kemudahan akses KPR dari pemerintah dapat menimbulkan kesan publik bahwa jurnalis tidak lagi kritis.

Sedangkan Ketua Umum Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Herik Kurniawan, berpendapat bahwa pemerintah seharusnya fokus pada pembuatan persyaratan kredit rumah yang terjangkau bagi semua lapisan masyarakat. Dia bahkan menyarankan agar Dewan Pers tidak terlibat dalam program tersebut, karena mandat Dewan Pers lebih fokus pada isu jurnalistik. ■

Comments are closed.