
Di era ketidakpastian ekonomi dan tekanan global, kecerdasan buatan (AI) telah menjadi alat strategis bagi korporasi besar dunia. Mulai dari Bank of America yang menggelontorkan US$4 miliar untuk inisiatif teknologi, hingga perusahaan-perusahaan manufaktur yang memanfaatkan AI untuk mengurangi dampak tarif dagang, tren ini menandai pergeseran besar ke arah otomatisasi dan efisiensi. Di saat bersamaan, persaingan antar raksasa teknologi seperti Meta dan Google pun kian memanas lewat peluncuran model-model AI terbaru seperti Llama 4 yang mampu mengolah konteks hingga 10 juta token.
Fokus utama:
- Bank of America memperkuat strategi teknologi dengan investasi besar di AI, membuktikan efisiensi lintas divisi.
2 AI menjadi solusi utama perusahaan dalam menghadapi ketidakpastian tarif dan efisiensi pembayaran global.
3 Persaingan ketat antarpemain besar AI memunculkan inovasi baru, seperti Llama 4 dari Meta yang mengungguli rekor teknis Google Gemini.
Kecerdasan buatan tak lagi sekadar alat bantu teknis. Ia kini menjadi senjata strategis utama korporasi dalam merespons ketidakpastian ekonomi, mengefisiensikan operasional, hingga menghadapi persaingan teknologi global yang makin sengit.
Di tengah gejolak geopolitik dan ekonomi global yang tak menentu, kecerdasan buatan (AI) menjelma menjadi pilar strategis yang menopang daya saing korporasi. Mulai dari mengantisipasi fluktuasi tarif perdagangan hingga mendongkrak produktivitas internal, AI terbukti mampu memberi nilai lebih yang signifikan.
Sebuah survei terbaru dari Zilliant menunjukkan bahwa 83% eksekutif di level C-suite di Amerika Serikat kini mengandalkan AI untuk menyesuaikan strategi penetapan harga secara real-time, seiring ketidakpastian ekonomi yang diperparah oleh kebijakan tarif Presiden Donald Trump. Teknologi ini memampukan perusahaan memantau tarif secara langsung, mengevaluasi rantai pasok, dan mengembangkan skenario yang adaptif terhadap perubahan regulasi dan geopolitik.
“AI tak hanya membantu perusahaan memahami tarif, tapi juga memitigasi risiko, menemukan sumber bahan baku alternatif, dan meningkatkan efisiensi logistik serta produktivitas pekerja,” tulis laporan tersebut.
Sementara itu, sektor perbankan tak tinggal diam. Bank of America (BoA) mengalokasikan hampir sepertiga dari total belanja teknologinya—setara US$4 miliar—untuk memperkuat inisiatif digital, termasuk AI. Komitmen ini bukan tanpa dasar. Sejak meluncurkan asisten virtual Erica pada 2018, BoA telah melihat dampak signifikan dari integrasi AI. Erica tak hanya membantu nasabah, tapi juga mempercepat pekerjaan internal.
“Penggunaan Erica for Employees menurunkan panggilan ke helpdesk TI hingga 50%,” ungkap laporan internal BoA. Lebih dari itu, pengembang mengalami peningkatan efisiensi sebesar 20%, dan karyawan menghemat puluhan ribu jam kerja per tahun berkat materi presentasi otomatis yang disiapkan AI menjelang pertemuan klien.
Di sisi lain, fungsi keuangan perusahaan juga mengalami transformasi besar berkat AI. Menurut laporan PYMNTS Intelligence bertajuk Smart Spending: How AI Is Transforming Financial Decision Making, lebih dari 80% CFO di perusahaan besar telah atau sedang mempertimbangkan penerapan AI dalam fungsi keuangan inti. Teknologi ini mampu mengotomatisasi distribusi dana bernilai miliaran dolar secara akurat, cepat, dan minim kesalahan—menjadikannya pusat laba baru bagi perusahaan.
Tak hanya di sektor keuangan, lonjakan permintaan terhadap teknologi berbasis AI juga dirasakan raksasa perangkat lunak Salesforce. Perusahaan ini mencatat pertumbuhan signifikan pada platform Data Cloud mereka, yang didorong oleh kebutuhan perusahaan akan AI generatif dan agentic yang efektif. Menurut Gabrielle Tao, Wakil Presiden Senior Manajemen Produk Salesforce, tantangan utama masih terletak pada kemampuan organisasi dalam menyatukan data yang selama ini tersebar dan terkotak-kotak.
“Data yang terfragmentasi membuat nilai AI tidak bisa dimaksimalkan,” ujarnya kepada PYMNTS.
Di tengah geliat integrasi AI ke dalam dunia usaha, persaingan teknologi semakin intensif. Meta, perusahaan induk Facebook, baru saja meluncurkan model AI sumber terbuka Llama 4. Dengan kemampuan memproses gambar dan menangani konteks hingga 10 juta token—jauh mengungguli Gemini 2.5 dari Google yang hanya mencapai 2 juta token—Llama 4 dinilai para ahli sebagai langkah besar yang akan mengguncang dominasi OpenAI dan Google.
Versi terbaru dari Llama, yakni Scout dan Maverick, dirancang sebagai model multimodal yang mampu menangani berbagai input, dari teks hingga gambar. Keunggulan ini membuka peluang besar bagi dunia industri untuk memanfaatkan AI dalam berbagai konteks yang lebih kompleks dan realistis.
“Llama 4 merupakan tantangan serius bagi model eksklusif seperti milik OpenAI,” ujar pengamat AI dalam wawancara dengan PYMNTS. Model sumber terbuka memungkinkan perusahaan membangun solusi AI kustom dengan biaya lebih rendah tanpa kehilangan performa.
Seiring meningkatnya investasi dan adopsi AI, dunia usaha tampaknya telah sepakat: masa depan operasional, strategi, dan bahkan daya saing perusahaan akan sangat ditentukan oleh seberapa canggih dan cerdas teknologi yang mereka gunakan. ■