Tarif Trump guncang sistem perdagangan dunia, OJK ingatkan risiko volatilitas pasar

- 11 April 2025 - 14:07

Ketua OJK Mahendra Siregar memperingatkan bahwa kebijakan tarif resiprokal yang diumumkan Presiden AS Donald Trump berpotensi mengganggu sistem perdagangan global yang selama ini berlandaskan prinsip multilateral WTO. Meskipun dampaknya terhadap ekonomi Indonesia dinilai minim, OJK tetap mendesak mitigasi risiko dan mendukung langkah diplomatik pemerintah alih-alih retaliasi. Perubahan drastis kebijakan perdagangan AS ini meningkatkan ketidakpastian dan volatilitas pasar global.


Fokus utama:

  1. Kebijakan tarif baru AS mengancam prinsip perdagangan multilateral dan stabilitas pasar global.
  2. Indonesia dinilai relatif aman dari dampak langsung, tetapi tetap harus waspada terhadap risiko jangka panjang.
  3. OJK mendukung strategi negosiasi pemerintah, bukan retaliasi, sebagai pendekatan cerdas menghadapi dinamika global.

Dunia perdagangan global kembali diguncang. Kebijakan tarif resiprokal yang diumumkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada awal April 2025 dinilai telah menggeser arah sistem perdagangan internasional dari yang selama ini diatur dalam kerangka multilateral menjadi hubungan bilateral yang bersifat kasus per kasus.

Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Mahendra Siregar, menyebut kebijakan tersebut sebagai “perubahan mendasar” terhadap tatanan perdagangan global. “Tarif perdagangan AS secara mendasar dapat—meskipun belum dikatakan sudah—mengubah sistem perdagangan global yang selama ini diatur,” ujar Mahendra dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Komisioner Bulanan OJK, Jumat (11/4).

Mahendra menekankan, sistem perdagangan global yang selama ini dijaga melalui prinsip World Trade Organization (WTO) didasarkan pada asas kesetaraan dan konsistensi. Namun, pendekatan baru yang diambil Amerika Serikat justru menempatkan perdagangan sebagai alat negosiasi strategis dengan setiap negara, membuka potensi distorsi dan ketidakpastian di berbagai lini.

“AS sekarang menganut konsep hubungan perdagangan bilateral yang lebih spesifik, kasus per kasus. Ini mengubah arsitektur perdagangan global yang kita kenal,” tegas Mahendra.

Kebijakan Trump yang diberlakukan melalui Executive Order pada 2 April 2025 itu memang menimbulkan reaksi keras di forum WTO. Sejumlah negara seperti Kanada, Jerman, Jepang, dan Korea Selatan menyampaikan keberatan atas kebijakan unilateral yang dinilai proteksionis dan bertentangan dengan semangat liberalisasi perdagangan.

Meski ketidakpastian global meningkat, Mahendra menyatakan bahwa dampak langsung terhadap Indonesia relatif terbatas. Berdasarkan kajian OJK dan data ekspor Indonesia, kontribusi ekspor ke AS terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional kurang dari 1%. Bahkan jika tarif baru ditetapkan sebesar 32%, dampaknya terhadap perekonomian nasional diperkirakan tidak signifikan.

Hal ini sejalan dengan laporan Asian Development Bank (ADB) yang dirilis awal April, yang menyebutkan bahwa perekonomian Indonesia relatif resisten terhadap dampak eksternal terkait kebijakan perdagangan AS, mengingat struktur ekspor Indonesia yang lebih terdiversifikasi dan dominasi permintaan domestik.

Namun, Mahendra mengingatkan bahwa risiko volatilitas di pasar keuangan tetap harus diwaspadai. “Kita sudah lihat dalam seminggu atau sepuluh hari terakhir ini bagaimana hal tadi mengakibatkan dinamika yang sangat volatil di dalam berbagai variabel maupun pasar keuangan,” katanya.

Volatilitas yang dimaksud antara lain terlihat pada pergerakan nilai tukar, harga komoditas, serta indeks saham yang menunjukkan gejolak sebagai respons atas ketidakpastian arah kebijakan perdagangan global.

Dalam menghadapi dinamika ini, OJK menyampaikan dukungan penuh terhadap langkah pemerintah Indonesia yang memilih pendekatan negosiasi ketimbang aksi balasan. “Dalam konteks itu, OJK mendukung penuh langkah pemerintah untuk melakukan negosiasi dan tidak melakukan retaliasi terhadap penetapan tarif itu, karena dengan begitu bisa mencari formula yang saling menguntungkan,” ucap Mahendra.

Pendekatan dialog ini dinilai lebih bijaksana dan dapat menghindari eskalasi konflik dagang yang hanya akan merugikan semua pihak. Dalam sejarah perdagangan internasional, aksi retaliasi tarif terbukti seringkali memicu perang dagang berkepanjangan seperti yang terjadi antara AS dan Tiongkok pada 2018–2019, yang menyebabkan perlambatan ekonomi global.

Di tengah situasi global yang semakin rapuh, strategi negosiasi yang dijalankan Indonesia dapat menjadi contoh bagi negara-negara berkembang lainnya untuk tetap mengedepankan kerja sama internasional dan menyelamatkan kerangka perdagangan multilateral dari tekanan unilateral. ■

Comments are closed.