
Meski membukukan lonjakan kredit dan aset yang impresif sepanjang 2024, Krom Bank Indonesia Tbk (BBSI) justru mengalami penurunan laba bersih sebesar 6,91% menjadi Rp124 miliar. Penyebabnya? Strategi konservatif dalam memperkuat pencadangan, di tengah ekspansi besar-besaran lewat teknologi digital dan bunga simpanan tinggi untuk mengerek dana pihak ketiga.
Fokus utama:
- Strategi ekspansi Krom Bank melalui peningkatan kredit dan bunga simpanan tinggi.
- Penurunan laba bersih akibat peningkatan pencadangan risiko kredit.
- Lonjakan aset, DPK, dan pendapatan bunga bersih menunjukkan potensi pertumbuhan jangka panjang.
Di tengah agresivitas ekspansi digital dan lonjakan penyaluran kredit, PT Krom Bank Indonesia Tbk (BBSI) justru menutup tahun 2024 dengan penurunan laba bersih. Bank digital ini hanya mengantongi laba Rp124 miliar, turun 6,91% dibandingkan 2023. Penurunan itu terjadi di tengah langkah manajemen yang mempertebal pencadangan untuk menjaga kualitas aset.
Namun meskipun laba tergerus, Presiden Direktur Krom Bank Anton Hermawan menilai kinerja 2024 tetap mencerminkan kekuatan fundamental bank digital yang adaptif dan efisien.
“Pencapaian ini merupakan hasil dari strategi bisnis yang solid dan prudent dalam menghadirkan solusi keuangan yang tidak hanya digital-friendly, tetapi juga menjawab kebutuhan nyata para nasabah,” ujar Anton, Kamis (10/4).
Meski laba tergerus, sejumlah indikator kinerja Krom Bank mencetak pertumbuhan agresif. Pendapatan bunga bersih (net interest income/NII) melonjak 125% (year-on-year/yoy) menjadi Rp965 miliar, seiring pertumbuhan kredit yang melesat 131% yoy menjadi Rp4,25 triliun. Ini menjadikan Krom sebagai salah satu pemain bank digital yang mencatat ekspansi tertinggi di Indonesia sepanjang 2024.
Aset total Krom Bank juga ikut melejit 83% yoy menjadi Rp6,65 triliun. Salah satu pendorong utama ekspansi ini adalah kemampuan bank mengerek dana pihak ketiga (DPK) hingga hampir sembilan kali lipat, dari Rp348 miliar pada 2023 menjadi Rp3,16 triliun pada akhir 2024. DPK yang naik signifikan ini berasal dari pertumbuhan dana tabungan dan deposito yang ditawarkan dengan suku bunga tinggi, mencapai 8,75% per tahun.
Strategi bunga tinggi memang ampuh menarik nasabah baru, terutama di tengah persaingan likuiditas antarbank yang semakin ketat. Namun di sisi lain, strategi ini meningkatkan beban biaya dana (cost of fund), yang akhirnya turut menekan margin keuntungan.
Langkah konservatif Krom dalam memperbesar pencadangan kemungkinan juga dipengaruhi oleh potensi risiko kredit bermasalah di tengah ekspansi cepat. Berdasarkan data OJK per Februari 2025, rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) di sektor perbankan digital cenderung naik, terutama dari segmen pinjaman konsumtif dan pinjaman mikro berbasis aplikasi.
Di tengah tantangan ini, Krom Bank masih memiliki momentum untuk tumbuh, terutama karena portofolio kredit dan layanan digitalnya menyasar segmen yang belum sepenuhnya terlayani bank konvensional. Dalam laporan riset DSInnovate bertajuk Indonesia Digital Bank Outlook 2025, potensi penetrasi perbankan digital diproyeksikan tumbuh rata-rata 20–25% per tahun selama tiga tahun ke depan, seiring meningkatnya adopsi layanan keuangan digital oleh generasi muda dan UMKM.
Namun, keberlanjutan strategi bunga tinggi dan ekspansi agresif perlu dikawal ketat agar tidak menjadi bumerang. Jika biaya dana terus melonjak tanpa diimbangi kualitas kredit yang baik, maka margin bank digital bisa terus tergerus.
Dengan kompetisi yang semakin padat, Krom tidak hanya harus menarik dana murah, tetapi juga memastikan efisiensi biaya operasional dan pengelolaan risiko yang cermat. Pasalnya, beberapa bank digital lain seperti Bank Jago (ARTO) dan SeaBank justru mencatatkan pertumbuhan laba signifikan di tahun yang sama, tanpa mengandalkan suku bunga deposito tinggi.
Bagi Krom Bank, tantangan ke depan bukan sekadar pertumbuhan, tapi bagaimana memastikan ekspansi yang berkelanjutan dan berkualitas. ■