Tarif Trump picu kekhawatiran, Goldman Sachs prediksi peluang resesi AS naik jadi 45%

- 7 April 2025 - 13:25

Goldman Sachs menaikkan proyeksi risiko resesi AS menjadi 45% dalam 12 bulan ke depan, menyusul rencana tarif baru dari pemerintahan Trump. Ketidakpastian kebijakan, pengetatan kondisi keuangan, dan potensi boikot asing menjadi faktor utama. Langkah ini juga mempercepat ekspektasi pemangkasan suku bunga oleh The Fed, yang bisa terjadi lebih cepat dari perkiraan sebelumnya.


Fokus utama:

  1. Kenaikan risiko resesi AS akibat kebijakan tarif baru.
  2. Perubahan proyeksi pemotongan suku bunga oleh The Fed.
  3. Dampak kebijakan ekonomi Trump terhadap kondisi keuangan dan sentimen global.

Kebijakan tarif baru yang diumumkan pemerintahan Donald Trump memunculkan awan gelap di langit ekonomi Amerika Serikat. Goldman Sachs Group Inc., salah satu bank investasi terbesar di dunia, meningkatkan proyeksi risiko resesi AS menjadi 45% dalam 12 bulan mendatang, naik tajam dari estimasi sebelumnya sebesar 35%.

Tim ekonom Goldman yang dipimpin oleh Jan Hatzius menyatakan bahwa kombinasi “pengetatan tajam kondisi keuangan, boikot konsumen asing, dan lonjakan ketidakpastian kebijakan yang terus berlanjut” bisa menekan pertumbuhan investasi dan menggoyang stabilitas ekonomi domestik.

Perusahaan tersebut juga menurunkan proyeksi pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) kuartal-ke-kuartal AS pada 2025 dari 1% menjadi hanya 0,5%.

“Jika sebagian besar tarif 9 April tetap diberlakukan, tarif efektif akan melonjak sekitar 20 poin persentase,” tulis mereka. Skenario itu, menurut Goldman, akan memicu risiko resesi yang lebih nyata.

Tarif baru yang diumumkan Trump dipandang oleh banyak pelaku pasar sebagai langkah proteksionis yang dapat memperburuk ketegangan dagang global. Investor dan mitra dagang internasional pun merespons dengan kehati-hatian tinggi. Potensi boikot konsumen asing, terutama dari negara-negara yang terdampak langsung, bisa memukul ekspor AS serta memperlemah posisi perusahaan multinasional yang bergantung pada pasar luar negeri.

Laporan dari Peterson Institute for International Economics menyebutkan bahwa kebijakan tarif AS selama periode 2018–2020 telah menyebabkan hilangnya sekitar 300.000 pekerjaan manufaktur. Jika pola ini berulang, maka sektor tenaga kerja AS berisiko kembali terpukul.

Kondisi ini juga memaksa para ekonom Goldman untuk merevisi waktu ekspektasi pemotongan suku bunga oleh Federal Reserve. Dalam skenario tanpa resesi, mereka kini memperkirakan pemangkasan pertama suku bunga akan terjadi pada bulan Juni — lebih cepat dibanding proyeksi sebelumnya di Juli. The Fed diperkirakan akan memangkas suku bunga sebanyak tiga kali, masing-masing sebesar 25 basis poin, hingga mencapai kisaran 3,5%–3,75%.

Namun, dalam skenario resesi, pemangkasan bisa jauh lebih agresif. Goldman memproyeksikan pemotongan suku bunga hingga 200 basis poin sepanjang tahun mendatang. Proyeksi pemotongan suku bunga berbobot probabilitas mereka saat ini menunjukkan kemungkinan total penurunan sebesar 130 basis poin pada tahun ini, naik dari 105 basis poin sebelumnya, dan konsisten dengan harga pasar pada penutupan perdagangan akhir pekan lalu.

Langkah Trump ini terjadi di tengah situasi politik yang memanas menjelang pemilu. Kebijakan ekonomi yang bersifat proteksionis telah menjadi ciri khas pendekatannya sejak periode pertama kepresidenan. Namun, langkah tersebut juga menuai kritik tajam karena dianggap menimbulkan ketidakpastian kebijakan yang berdampak pada iklim investasi dan perdagangan internasional.

Sementara itu, IMF dalam laporan World Economic Outlook terbaru, memperingatkan bahwa gejolak geopolitik dan ketidakpastian kebijakan dapat mengurangi pertumbuhan ekonomi global hingga 0,3% poin dalam jangka menengah. Dalam konteks ini, keputusan Trump dapat mempercepat perlambatan ekonomi tidak hanya di AS, tapi juga di pasar-pasar utama dunia.

Pandangan Beragam di Kalangan Analis
Meski Goldman Sachs memperingatkan peningkatan risiko resesi, beberapa analis lain mencoba menawarkan pandangan berbeda. “Dampak tarif tergantung pada bagaimana negara-negara mitra merespons,” ujar Ethan Harris, Kepala Ekonom Global di Bank of America. “Jika balasan mereka moderat, efek ke ekonomi AS bisa terbatas.” Namun, banyak yang sepakat bahwa ketidakpastian ini membuat The Fed semakin berhati-hati dalam menavigasi kebijakan moneternya.

Kondisi ini menempatkan pasar keuangan global dalam posisi siaga. Investor kini lebih sensitif terhadap rilis data ekonomi dan pernyataan pejabat The Fed, mengantisipasi arah kebijakan berikutnya di tengah gejolak kebijakan fiskal dari Gedung Putih. ■

Comments are closed.