Kerugian akibat penipuan di sektor jasa keuangan tembus Rp1,25 triliun di awal 2025

- 14 Maret 2025 - 07:55

Kerugian akibat penipuan di sektor jasa keuangan melonjak drastis, mencapai Rp1,25 triliun dalam kurun waktu kurang dari empat bulan pertama 2025. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan bahwa total kerugian sejak 2022 hingga 2024 telah menembus Rp2,5 triliun. Kasus ini semakin mengkhawatirkan dengan lebih dari 58.000 laporan yang masuk hanya dalam tiga hingga empat bulan terakhir. OJK telah mengambil langkah dengan memblokir dana sebesar Rp127 miliar terkait penipuan ini, namun tantangan dalam pencegahan dan pemulihan dana korban masih besar.


Fokus utama:

  1. Dalam waktu singkat, nilai kerugian akibat penipuan melonjak drastis, menunjukkan meningkatnya ancaman di sektor keuangan digital.
  2. Dalam kurang dari empat bulan, OJK telah menerima lebih dari 58.000 laporan terkait penipuan keuangan.
  3. Meskipun OJK telah memblokir Rp127 miliar, banyak korban masih kesulitan mendapatkan kembali uang mereka.

Penipuan di sektor jasa keuangan semakin mengkhawatirkan. Dalam kurun waktu kurang dari empat bulan pertama tahun ini, total kerugian yang dilaporkan sudah mencapai Rp1,25 triliun. Data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan bahwa sejak 2022 hingga 2024, total kerugian akibat kasus serupa telah mencapai Rp2,5 triliun.

Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Pelindungan Konsumen (KE PEPK) OJK, Friderica Widyasari Dewi, menyatakan bahwa lonjakan kerugian ini menjadi alarm serius bagi industri keuangan.

“Saya sampaikan, dalam periode 2022–2024, total kerugian akibat penipuan di sektor ini mencapai Rp 2,5 triliun. Dan sekarang, dalam kurang dari empat bulan pertama tahun ini saja, jumlahnya sudah lebih dari Rp1 triliun, tepatnya Rp 1,25 triliun,” kata Friderica di Jakarta, Kamis (13/3).

Tak hanya nominal kerugian yang meningkat, jumlah laporan dari masyarakat pun melonjak tajam. OJK mencatat ada 58.206 laporan yang masuk hanya dalam rentang waktu November 2024 hingga Februari 2025.

Laporan tersebut disampaikan melalui berbagai jalur, termasuk sistem Investor Alert System and Complaint (IASC) serta langsung ke pelaku usaha jasa keuangan (PUJK). Namun, jumlah ini diyakini hanya sebagian kecil dari kasus yang sebenarnya terjadi.

“Ini baru yang dilaporkan ke kami, belum termasuk laporan langsung ke lembaga keuangan terkait. Artinya, bisa jadi jumlah korban sebenarnya lebih banyak,” jelas Friderica.

Penipuan di sektor jasa keuangan tidak hanya dilakukan oleh pihak yang mengaku sebagai lembaga keuangan resmi, tetapi juga oleh oknum-oknum yang memanfaatkan media sosial dan aplikasi digital. Dalam beberapa kasus, modus yang digunakan semakin canggih, mulai dari skema investasi bodong, pinjaman online ilegal, hingga akun-akun palsu yang mengatasnamakan institusi keuangan terpercaya.

Sebagai langkah mitigasi, OJK telah membekukan dana sebesar Rp 127 miliar yang terkait dengan kasus penipuan ini. Namun, pengembalian dana kepada korban masih menjadi tantangan besar.

“Saat ini, kami bekerja sama dengan lembaga keuangan dan aparat penegak hukum untuk mengupayakan pengembalian dana kepada korban,” kata Friderica.

Meski demikian, proses pemulihan dana ini tidak mudah, terutama jika dana sudah berpindah ke luar negeri atau dicairkan dalam bentuk aset lain. Oleh karena itu, OJK terus mengimbau masyarakat agar lebih berhati-hati dalam bertransaksi keuangan.

Pakar keuangan dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menekankan pentingnya literasi keuangan di tengah maraknya penipuan.

“Prinsip dasar dalam investasi atau transaksi keuangan adalah ‘legal dan logis’. Jika suatu tawaran terlalu bagus untuk menjadi kenyataan, maka kemungkinan besar itu adalah penipuan,” ujarnya.

Untuk mengurangi risiko penipuan, OJK menyarankan masyarakat untuk selalu memeriksa legalitas perusahaan sebelum berinvestasi atau menggunakan layanan keuangan tertentu. Situs resmi OJK menyediakan daftar entitas keuangan yang telah mendapatkan izin resmi.

Selain itu, OJK juga mengingatkan agar masyarakat tidak mudah tergiur dengan janji keuntungan besar dalam waktu singkat, terutama yang sering ditawarkan melalui media sosial.

Dengan lonjakan kasus yang semakin besar, pemerintah dan regulator perlu meningkatkan upaya pencegahan dan penegakan hukum agar kepercayaan masyarakat terhadap sektor jasa keuangan tetap terjaga. ■

Comments are closed.