Masyarakat makin bergantung pada tabungan, simpanan di bawah Rp100 juta susut tajam

- 12 Maret 2025 - 09:55

Simpanan masyarakat Indonesia dengan nominal di bawah Rp100 juta mengalami penurunan signifikan sebesar 2,6% per Januari 2025, menandakan tren berlanjutnya fenomena ‘makan tabungan’. Faktor utama penyebabnya adalah tekanan ekonomi yang mendorong masyarakat kelas menengah ke bawah untuk menggunakan simpanan mereka guna memenuhi kebutuhan konsumsi. Di tengah kenaikan harga barang dan pendapatan yang tidak bertumbuh secepat inflasi, jumlah kelas menengah juga menurun dari 52 juta menjadi 47 juta orang.


Fokus utama:

  1. Simpanan di bawah Rp100 juta turun 2,6% secara bulanan, menjadi Rp1.078,77 triliun atau 12,1% dari total simpanan nasional. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mencatat ini sebagai penurunan tertinggi dibandingkan kelompok simpanan lainnya. Mayoritas rekening simpanan di Indonesia (98,8%) berisi nominal di bawah Rp100 juta.
  2. Masyarakat semakin mengandalkan tabungan untuk konsumsi karena kenaikan harga barang lebih tinggi daripada pertumbuhan pendapatan. Harga emas sebagai instrumen investasi naik drastis, sementara daya beli masyarakat melemah. Deflasi 0,48% pada Februari 2025 tidak cukup menekan harga kebutuhan pokok.
  3. Jumlah kelas menengah menyusut drastis dari 52 juta menjadi 47 juta orang. Masyarakat cenderung menarik simpanan daripada mengandalkan pinjaman. Tren ini diperkirakan terus berlanjut sepanjang 2025.

Fenomena ‘makan tabungan’ alias ‘mantab’ di kalangan masyarakat kelas menengah ke bawah semakin mengkhawatirkan. Data terbaru Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mencatat bahwa per Januari 2025, simpanan di bawah Rp100 juta turun 2,6% secara bulanan. Penurunan ini menjadi yang tertinggi dibandingkan tiering simpanan lainnya.

Total simpanan dengan nominal di bawah Rp100 juta kini hanya Rp1.078,77 triliun, atau 12,1% dari total simpanan nasional yang mencapai Rp8.920,28 triliun. Sebagian besar rekening simpanan di Indonesia, yakni 98,8% atau sekitar 603,45 juta rekening, berisi dana kurang dari Rp100 juta.

Head of Deposit and Wealth Management UOB Indonesia, Vera Margaret, mengungkapkan bahwa penyusutan simpanan ini selaras dengan berkurangnya jumlah kelas menengah di Indonesia.

“Jumlah masyarakat kelas menengah turun dari sekitar 52 juta menjadi 47 juta orang. Ini menunjukkan bahwa banyak yang terpaksa menggunakan tabungan mereka untuk bertahan di tengah tekanan ekonomi,” jelas Vera dalam acara Media Literacy UOB di Jakarta, Selasa (11/3).

Penyebab utama masyarakat menarik tabungan adalah kenaikan harga barang yang lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan pendapatan. Salah satu contoh paling nyata adalah harga emas yang melonjak signifikan, menjadikannya aset investasi yang semakin sulit dijangkau oleh masyarakat kelas menengah ke bawah.

“Kenapa masyarakat makin banyak mengandalkan tabungan? Karena konsumsi meningkat, sementara pendapatan tidak bertumbuh cukup cepat. Harga emas, misalnya, naik jauh lebih tinggi dibanding kenaikan penghasilan,” kata Vera.

Situasi ini semakin diperburuk oleh kenaikan harga kebutuhan pokok, meskipun Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat deflasi 0,48% secara bulanan pada Februari 2025. Deflasi seharusnya menekan harga barang, namun nyatanya, beberapa kebutuhan tetap mengalami lonjakan harga akibat faktor eksternal seperti harga pangan global dan biaya distribusi.

Turunnya jumlah kelas menengah dari 52 juta menjadi 47 juta orang menjadi alarm bagi ekonomi nasional. Kelas menengah adalah tulang punggung konsumsi domestik. Jika kelompok ini terus mengalami tekanan finansial, dampaknya bisa berimbas ke berbagai sektor, dari perbankan hingga industri ritel.

Selain itu, data menunjukkan bahwa bukan hanya simpanan di bawah Rp100 juta yang mengalami penurunan. Simpanan dengan nominal Rp100 juta hingga Rp200 juta juga turun 0,4%, sementara simpanan antara Rp2 miliar hingga Rp5 miliar susut 0,1% secara bulanan.

Dengan tren ini, Vera memperkirakan fenomena ‘makan tabungan’ masih akan berlanjut sepanjang 2025. “Kita masih melihat tren ini akan berlanjut, karena belum ada perubahan signifikan dalam daya beli masyarakat,” ujarnya.

Jika kondisi ini terus berlangsung, perbankan dan pemerintah perlu mengantisipasi dampaknya terhadap stabilitas ekonomi dan daya beli masyarakat dalam jangka panjang. ■

Comments are closed.