‘Program 3 Juta Rumah’ di bawah bayang-bayang ketatnya likuiditas perbankan, ini penjelasan OJK

- 25 Desember 2024 - 16:51

Ambisi pemerintah Indonesia untuk menyediakan 3 juta rumah bagi rakyat menghadapi tantangan besar. Pengetatan likuiditas perbankan mengancam kelancaran program yang menjadi salah satu andalan Presiden Prabowo Subianto ini. Namun, regulator keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), memastikan bahwa kebijakan strategis yang ada telah dirancang untuk menjaga keseimbangan antara akselerasi pembiayaan properti dan stabilitas sistem keuangan.


Program 3 juta rumah menjadi simbol ambisi pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui kepemilikan hunian layak. Namun, likuiditas bank yang mulai mengetat menjadi tantangan serius. Berdasarkan data OJK, loan-to-deposit ratio (LDR) bank berada di angka 87,50% per Oktober 2024, meningkat signifikan dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, yaitu 84,19%. Tren ini menunjukkan ruang ekspansi kredit yang semakin terbatas bagi perbankan.

“Dengan kebijakan yang adaptif dan pengawasan yang hati-hati, OJK berupaya menjaga keseimbangan antara peningkatan akses pembiayaan properti dalam rangka program pemerintah 3 juta rumah dan stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan,” ujar Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, Selasa (24/12).

OJK telah mengeluarkan sejumlah kebijakan strategis untuk mendorong partisipasi perbankan dalam program ini, antara lain:

  1. Pengaturan Khusus Kredit Beragun Rumah Tinggal (SEOJK No.24/SEOJK.03/2021):
    Dalam peraturan ini, bobot risiko kredit disesuaikan dengan nilai Loan to Value (LTV). Semakin kecil LTV, semakin rendah bobot risiko kredit dalam perhitungan Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR). Hal ini memberikan insentif bagi bank untuk menyalurkan kredit dengan risiko rendah.
  2. Penetapan Kualitas Aset Produktif (POJK Kualitas Aset):
    Kredit perumahan dengan plafon hingga Rp5 miliar hanya dinilai berdasarkan ketepatan pembayaran pokok atau bunga (1 pilar). Pendekatan ini lebih praktis dibandingkan metode umum yang menggunakan tiga pilar: prospek usaha, kinerja debitur, dan kemampuan membayar.
  3. Pengecualian Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK):
    Kredit untuk pembiayaan rumah bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) mendapat pengecualian BMPK apabila dijamin oleh lembaga penjaminan atau asuransi milik BUMN atau BUMD. Ketentuan ini diatur dalam POJK No.32/POJK.03/2018 dan POJK No.38/POJK.03/2019.
  4. Pencabutan POJK Kredit Tanah:
    Per 1 Januari 2023, larangan pemberian kredit untuk pengadaan/pengolahan tanah telah dicabut, memungkinkan bank memberikan kredit untuk tujuan tersebut selama memenuhi prinsip manajemen risiko dan menghindari spekulasi.

“Langkah-langkah kebijakan dimaksud diharapkan dapat membantu bank turut mendukung program 3 juta rumah tersebut,” tambah Dian.

Selain LDR yang tinggi, likuiditas yang mengetat juga tercermin dari penurunan rasio Alat Likuid/Non-Core Deposit (AL/NCD) dari 117,29% menjadi 113,64% secara tahunan. Walaupun masih di atas ambang batas 50%, tren ini menunjukkan penurunan ruang manuver perbankan dalam menyalurkan kredit.

Pertumbuhan kredit yang mencapai 10,92% year-on-year (yoy) pada Oktober 2024 juga jauh melampaui pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) yang hanya 6,74% yoy. Kondisi ini menambah tekanan pada likuiditas perbankan.

Di sisi lain, pasar modal turut berkontribusi melalui penerbitan Efek Beragun Aset berbentuk Surat Partisipasi (EBA-SP). Instrumen ini memungkinkan bank mengalihkan risiko kredit KPR ke pasar modal. Hingga 29 November 2024, terdapat 9 EBA-SP yang diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan total nilai Rp2,21 triliun.

Program ini tidak hanya menjadi tolok ukur keberhasilan pemerintah, tetapi juga stabilitas sektor properti dan keuangan Indonesia. Dengan kombinasi kebijakan adaptif, pengawasan ketat, dan inovasi pasar modal, tantangan likuiditas diharapkan dapat diatasi, membuka jalan bagi realisasi penuh ambisi ini. ■

Comments are closed.