Dengan kebijakan Presiden Prabowo yang mengesahkan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%, muncul pertanyaan besar: bagaimana dampaknya terhadap daya beli masyarakat dan kinerja sektor perbankan? Meski ditargetkan untuk barang mewah, kebijakan ini tak luput dari perhatian pelaku usaha dan regulator, termasuk Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, menjelaskan bahwa kenaikan PPN ini dapat memicu kontraksi ekonomi sementara, memengaruhi daya beli, serta menambah beban biaya produksi. Namun, langkah ini juga dipandang sebagai upaya menegakkan asas keadilan dalam sistem perpajakan, sebagaimana dijelaskan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Kenaikan PPN: Dampak Langsung dan Tidak Langsung
Dalam konferensi pers bulanan Rapat Dewan Komisioner OJK pada Jumat (13/12), Dian Ediana Rae menyebut bahwa kenaikan PPN berpotensi memengaruhi daya beli masyarakat dan biaya produksi perusahaan. “Sementara itu, dari sisi supply, secara bertahap dampak kebijakan tersebut juga akan turut memengaruhi komponen biaya produksi guna menjaga produk dan layanan pelaku bisnis agar tetap memiliki daya tarik bagi pembeli,” ungkap Dian.
Ia juga menambahkan bahwa penyesuaian kebijakan ini dapat menyebabkan kontraksi aktivitas ekonomi secara temporer. Namun, dampaknya terhadap kemampuan bayar debitur belum terlihat secara langsung. OJK dan regulator lain akan memantau perkembangan ini dan, jika diperlukan, menyiapkan stimulus untuk menjaga stabilitas sistem keuangan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan bahwa barang-barang kebutuhan pokok, seperti beras, daging, ikan, dan telur, serta jasa penting seperti kesehatan dan pendidikan, akan tetap bebas dari PPN. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa kenaikan PPN tidak membebani masyarakat kecil. “Kami akan konsisten untuk asas keadilan itu akan diterapkan, karena ini menyangkut pelaksanaan undang-undang di satu sisi, tapi juga dari sisi asas keadilan,” jelasnya.
Ketentuan ini juga berlaku untuk barang mewah yang akan menjadi fokus utama kenaikan pajak, yang dijadwalkan efektif paling lambat pekan depan. Dengan demikian, pemerintahan Prabowo berharap dapat menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil tanpa merugikan kebutuhan dasar masyarakat.
Kebijakan ini juga menarik perhatian sektor perbankan, mengingat dampaknya terhadap daya beli konsumen yang bisa berimbas pada penurunan transaksi kredit dan kemampuan pembayaran debitur. Dengan total kredit perbankan mencapai Rp7.656,90 triliun, perbankan diharapkan lebih fleksibel dalam menghadapi potensi perlambatan ini.
Namun, pengaruh kenaikan PPN terhadap kredit macet atau Non-Performing Loan (NPL) masih belum dapat dipastikan. OJK terus memantau indikator ekonomi dan bekerja sama dengan regulator lain untuk memastikan dampaknya tetap terkendali.■