Dengan pertumbuhan kredit yang terus mencatatkan angka dobel digit, perbankan Indonesia menghadapi tantangan serius dalam menjaga kualitas asetnya. Survei Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kuartal IV/2024 mengungkapkan potensi kenaikan rasio kredit bermasalah (NPL), meskipun kondisi keseluruhan risiko perbankan masih dinilai terkendali. Apakah sektor perbankan mampu mempertahankan optimisme ini di tengah tekanan ekonomi domestik yang belum sepenuhnya stabil.
Di tengah pemulihan ekonomi yang masih rentan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memprediksi potensi kenaikan rasio kredit bermasalah (NPL) bank pada kuartal IV/2024. Hal ini terungkap dalam Survei Orientasi Bisnis Perbankan (SBPO) yang melibatkan 93 bank. Meski demikian, OJK optimistis sektor perbankan mampu mengelola risiko tersebut melalui strategi intensif seperti monitoring, penagihan, dan penghapusan buku terhadap kredit bermasalah.
“Namun demikian, masih terdapat potensi peningkatan NPL yang berasal dari pemburukan kredit restrukturisasi kolektibilitas 1 dan kredit kolektibilitas 2,” tulis OJK dalam rilis resminya pada Senin (25/11).
Potensi pemburukan ini dipicu oleh kondisi usaha debitur yang melemah akibat perekonomian domestik yang belum stabil. Namun, Indeks Persepsi Risiko (IPR) perbankan berada di level 55, yang mengindikasikan zona optimistis. OJK juga menyoroti peningkatan rasio margin bunga bersih (net interest margin/NIM) yang diproyeksikan mencapai lebih tinggi dari 4,60% pada September 2024 seiring penyaluran kredit yang terus bertumbuh.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, mencatat bahwa kredit perbankan tumbuh sebesar 10,85% secara tahunan (YoY) hingga September 2024, dengan total penyaluran mencapai Rp7.579,25 triliun. “Kualitas kredit bank tetap terjaga dengan NPL gross turun menjadi 2,21% dibanding bulan lalu yang sebesar 2,26%, sementara NPL net stabil di 0,78%,” ujarnya.
Tren positif ini juga terlihat pada rasio kredit berisiko (loan at risk/LaR), yang turun menjadi 10,11% pada September 2024, mendekati level sebelum pandemi sebesar 9,93% pada Desember 2019. Hal ini mencerminkan kemampuan perbankan dalam menjaga stabilitas di tengah tekanan ekonomi.
Optimisme ini didukung oleh kebijakan perbankan dalam menjaga rasio posisi devisa neto (net open position/PDN) tetap rendah dan meningkatkan efisiensi operasional. Namun, tantangan besar masih membayangi, terutama dalam menjaga kualitas kredit restrukturisasi yang selama ini menjadi penopang utama di masa pandemi.
Dengan tren pertumbuhan kredit yang solid, perhatian perbankan kini tertuju pada langkah-langkah mitigasi risiko yang lebih intensif, sembari menjaga stabilitas sektor keuangan secara keseluruhan. Ke depan, koordinasi antara regulator dan pelaku industri akan menjadi kunci dalam memastikan perbankan tetap tangguh menghadapi tantangan ekonomi domestik. ■