Dalam upaya mentransformasi sektor perbankan pedesaan di Indonesia, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mengalokasikan dana sebesar Rp160 miliar pada tahun 2025 untuk membangun sistem teknologi informasi (IT) bagi Bank Perekonomian Rakyat (BPR) dan Bank Perekonomian Rakyat Syariah (BPRS). Proyek ambisius ini bertujuan untuk meningkatkan daya saing BPR/BPRS di tengah dominasi bank umum dan perusahaan teknologi finansial (fintech) yang semakin kuat.
Ketua Dewan Komisioner LPS, Purbaya Yudhi Sadewa, menjelaskan bahwa inisiatif ini akan dimulai dengan program percontohan (pilot project) yang mencakup 100 BPR terpilih.
“Tahun depan kita akan mulai terapkan dengan pilot project 100 BPR yang akan kita pilih,” katanya dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI pekan ini.
Sistem ini diharapkan mampu meningkatkan efisiensi operasional dan memperkuat pengelolaan BPR/BPRS, sehingga bank-bank ini dapat memainkan peran strategis dalam perekonomian lokal yang lebih baik.
LPS telah memulai proses asesmen implementasi sistem IT ini sejak 2024, bekerja sama dengan berbagai pihak, termasuk Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Dengan dukungan infrastruktur yang lebih baik, BPR/BPRS diharapkan tidak hanya meningkatkan manajemen internal tetapi juga memperluas jangkauan layanan kepada masyarakat.
“BPR lebih dekat ke masyarakat, lebih cepat, dan dampak ekonominya sama signifikannya dengan bank lain. Sehingga kita harapkan kemampuan manajemen BPR/BPRS menjadi lebih baik,” ujar Purbaya.
Jika proyek percontohan ini sukses, sistem tersebut akan diperluas untuk mencakup lebih banyak BPR/BPRS di tahun-tahun mendatang. Langkah ini menjadi bagian dari transformasi digital yang sangat dibutuhkan untuk menjaga relevansi dan keberlanjutan BPR/BPRS dalam menghadapi era digitalisasi keuangan.
Meskipun ketahanan modal BPR/BPRS masih kuat, LPS menggarisbawahi pentingnya perhatian terhadap tren peningkatan risiko kredit. Data per September 2024 menunjukkan bahwa rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) BPR mencapai 31,05%, sementara BPRS di level 22,52%. Namun, tren risiko kredit yang terus meningkat menjadi tantangan signifikan.
Rasio kredit bermasalah (gross NPL) BPR tercatat di angka 11,72%, sementara rasio pembiayaan bermasalah (gross NPF) BPRS mencapai 9,03%. Situasi ini turut menekan tingkat profitabilitas BPR/BPRS, dengan Return on Asset (ROA) masing-masing berada di angka 1,24% dan 1,39%.
Dengan sistem IT modern, diharapkan kemampuan BPR/BPRS dalam mengelola risiko kredit dapat meningkat, sekaligus memperkuat posisi mereka di tengah tekanan ekonomi yang terus berkembang.
Transformasi digital ini diharapkan tidak hanya meningkatkan daya saing, tetapi juga memperluas akses layanan keuangan bagi masyarakat di daerah terpencil. Sebagai pilar penting dalam perekonomian lokal, BPR/BPRS berpotensi menjadi katalisator pertumbuhan jika didukung oleh infrastruktur teknologi yang memadai.
Dengan dana Rp160 miliar dan kolaborasi lintas lembaga, LPS optimis bahwa modernisasi sektor BPR/BPRS akan membawa dampak positif yang signifikan bagi perekonomian Indonesia. ■.