Meskipun tingkat adopsi layanan keuangan di Indonesia sudah tergolong tinggi yakni sekitar 85% populasi telah menggunakan jasa keuangan, rasio produk domestik bruto (PDB) terhadap utang rumah tangga masih terbilang rendah di angka 16%.
Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara seperti India dan Filipina yang berada di rata-rata 30%. Kondisi di Indonesia ini menunjukkan kesenjangan yang signifikan antara permintaan pinjaman yang lebih besar dengan suku bunga yang kompetitif dan inefisiensi dalam pemanfaatan data keuangan, serta perlunya peningkatan evaluasi kelayakan kredit.
Untuk menghadapi tantangan saat ini, tiga Lembaga Pengelola Informasi Perkreditan (LPIP) di Indonesia — PT CRIF Lembaga Informasi Keuangan (CLIK), PT Kredit Biro Indonesia Jaya (CBI), dan PT PEFINDO Biro Kredit (idScore) — telah bekerja sama untuk membentuk Asosiasi Pengelola Informasi Kredit (APIIK). Kolaborasi strategis ini bertujuan untuk memperkuat infrastruktur kredit di Indonesia dan menciptakan sistem keuangan yang lebih inklusif dan efisien.
“Reformasi regulasi yang diperkenalkan pada akhir tahun 2022 serta perkembangan tren industri keuangan mendorong kami untuk bekerja sama dalam meningkatkan kesadaran publik dan pemangku kepentingan tentang peran penting biro kredit. Melalui pendirian APIIK, kami mengambil langkah signifikan dalam mendukung transformasi lanskap kredit Indonesia,” ujar Ketua Umum APIIK Yohanes Arts Abimanyu.
Baru-baru ini, APIIK bekerja sama dengan EY Parthenon untuk melakukan studi mengenai Ekosistem Pelaporan Kredit Indonesia. Hal ini dilakukan dalam rangka memberikan pandangan yang komprehensif kepada regulator dan pemangku kepentingan terkait kondisi infrastruktur kredit nasional.
Studi ini bertujuan untuk memahami kinerja dan dinamika sektor pelaporan kredit di Indonesia, memahami industri pelaporan kredit global khususnya interaksi antara Public Credit Registry (PCR) dan Private Credit Bureau (PCB), serta mengidentifikasi berbagai kesenjangan dan peluang yang berpotensi meningkatkan kapabilitas penilaian kredit.
Hasil studi APIIK-EY Parthenon ini disampaikan dalam workshop bersama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan para ahli independen lainnya pada tanggal 30 Juli 2024 di Jakarta.
Hasil dari studi ini merekomendasikan agar Indonesia mempertahankan pendekatan sistem ganda (dual system approach) untuk infrastruktur pelaporan kreditnya, di mana PCR dan PCB memiliki peran yang berbeda namun saling melengkapi.
Dalam pendekatan ini, PCR (SLIK OJK) berfungsi sebagai basis data terpusat untuk data dari lembaga jasa keuangan (LJK), sementara PCB mengumpulkan data beragam dari non-lembaga jasa keuangan (Non-LJK) untuk menghasilkan laporan terperinci dan skor kredit yang menilai kelayakan kredit dan pola penggunaan kredit.
Pendekatan ini bertujuan untuk meningkatkan inklusi keuangan pada populasi yang tidak memiliki akses perbankan (unbanked), memastikan penilaian risiko yang kuat, menjaga privasi data yang aman, dan meningkatkan efisiensi dan efektivitas sistem pelaporan kredit secara keseluruhan.
Partner EY-Parthenon Anugrah Pratama menambahkan, “adopsi pendekatan sistem ganda akan mengatasi inefisiensi yang ada saat ini dan meningkatkan pemanfaatan data kredit secara signifikan. Kedepannya, pendekatan ini dapat meningkatkan inklusivitas keuangan dan memungkinkan penilaian kelayakan kredit yang lebih akurat, memperluas akses keuangan bagi UMKM, mendukung manajemen risiko kredit, dan menghasilkan produk keuangan yang lebih baik untuk pasar Indonesia.”
Ketua Dewan Pengawas APIIK Rizana Noor mengungkapkan bahwa Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan. “Perbaikan berkelanjutan dalam infrastruktur dan model akses berbagi data sangat penting untuk menyediakan akses data yang adil dan dapat diandalkan untuk PCB, serta untuk mengembangkan platform berbagi data yang aman dan mendorong inovasi,” jelasnya.
Dalam rangka menyambut transformasi sistem pelaporan kredit di Indonesia, APIIK berkomitmen untuk berkolaborasi dengan LJK, Non-LJK, penyedia data lain, dan regulator untuk mendukung adopsi sistem ganda ini. APIIK yakin bahwa inovasi ini akan mendorong pergeseran dari inklusi keuangan ke pendalaman keuangan (financial deepening), yang memungkinkan lembaga keuangan untuk menawarkan layanan dan produk yang lebih luas kepada masyarakat. ■