PELAKU industri perbankan perlu membentuk suatu unit ad hoc untuk mengantisipasi dampak krisis perekonomian dan geopolitik global maupun gejolak pasar domestik.
Unit ad hoc tersebut bertugas untuk menyediakan data bagi manajemen bank sebagai bahan analisa pembuatan respons kebijakan melalui simulasi atau stress test harian.
Usulan tersebut dikemukan Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau BRI Sunarso di Jakarta pekan ini. “Yang paling penting menurut saya adalah kini sudah perlu bank membentuk ad hoc unit temporary semacam banking crisis center,” katanya.
Menurut dia, saat terjadi krisis, stress test tidak dapat lagi dilakukan secara bulanan maupun mingguan, melainkan perlu setiap hari. Bahkan dalam situasi yang sangat mendesak, evaluasi tersebut berpotensi dibutuhkan setiap beberapa jam sekali.
Dalam bidang keuangan, uji stres (stress test) adalah sebuah analisis atau simulasi untuk menguji ketahanan sebuah lembaga keuangan (misal: bank) atau instrumen keuangan dalam menghadapi kemungkianan situasi “stres” atau skenario ekonomi yang buruk.
Stress test merupakan pengujian daya tahan untuk menentukan batas kritis di dalam suatu kondisi kritis, dalam hal ini terjadi pada sistem/industri keuangan. Stress test dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai kalkulasi resiko yang ada.
Risiko dimaksud meliputi resiko yang berkaitan dengan currency (nilai tukar), inflasi maupun pertumbuhan ekonomi. Langkah stress test akan menempatkan perekonomian suatu negara menjadi lebih siap dan lebih siaga dengan kemungkinan dan risiko transmisi yang akan terjadi dalam konteks pemburukan ekonomi global.
Updating yang cepat, kata dia, perlu untuk memonitor berbagai masalah yang mungkin terjadi di pasar, mengingat kondisi pasar akan sangat bergejolak jika krisis semakin memburuk.
Ia menyatakan bentuk stress test yang dijalankan berkaitan dengan tingkat ekspansi penyaluran kredit, penghimpunan likuiditas, serta penyiapan cadangan pembiayaan. Tes tersebut juga dapat diimplementasikan untuk mengevaluasi kebijakan perseroan dan mengukur risiko kredit perbankan.
Sunarso mengatakan situasi global saat ini memicu potensi inflasi di Amerika Serikat (AS) dan direspons oleh penyesuaian suku bunga oleh The Fed. Bank harus menyiapkan stress test untuk memitigasi risiko yang datang dari global maupun domestik.
Menurut Sunarso, simulasi tersebut sangat penting untuk memonitor peluang pasar menghadapi gejolak. Sebab, bank memiliki risiko yang tinggi.
“Bagi manajemen bank adalah kesediaan data untuk dianalisa, dibuat simulasinya, dan periode simulasinya makin krisis makin sering kita lakukan stress test. Makin normal kondisinya, makin santai kita melakukan stress test. Itu yang harus kita lakukan,” jelas Sunarso.
Sunarso menilai risiko yang paling dekat terpengaruh adalah risiko likuiditas, sehingga dapat menimbulkan biaya tinggi dari sisi biaya dana (cost of fund/CoF). Tingginya biaya tersebut akan berdampak terhadap kualitas kredit.
Stress test yang dilakukan terkait kemampuan bank dalam menyalurkan kredit, mengumpulkan likuiditas, dan menyiapkan cadangan.Jika terjadi risiko geopolitik maupun global, perbankan sudah mengalokasikan biaya dalam cadangan tersebut.
Perbankan Indonesia harus mempunyai kemampuan untuk melakukan simulasi dengan adanya risiko-risiko yang datang dari global maupun domestik. “Kekuatannya terletak di kemampuan kita melakukan simulasi dan stress test. Dan hasil simulasi dan stress test itulah kita tetapkan strategi yang pas untuk menjawabnya,” tutur Sunarso.
Sunarso mengatakan ekonomi Indonesia paling kuat korelasinya dengan ekonomi di China karena kekuatan korelasi antara ekonomi Indonesia dengan Amerika menurun.
“Jadi sekarang kalau terjadi korelasi di China, itu justru lebih berpengaruh. Dalam merespon semua tantangan, baik global maupun domestik, kekuatannya terletak pada kemampuan untuk melakukan simulasi dan stress test. Dari hasil simulasi dan stress test itulah kami tetapkan strategi kebijakan yang tepat,” ujar Sunarso.
BRI sendiri, lanjut dia telah melaksanakan berbagai stress test untuk merespons dinamika global yang terjadi tahun ini.
Pada semester I 2024, pertumbuhan perbankan diproyeksikan moderat dengan tingkat risiko yang tinggi. Merespons hal tersebut, pihaknya pun memutuskan untuk melakukan ekspansi kredit secara moderat dengan pedoman portofolio kredit (loan portfolio guideline/LPG) yang diperketat dan mencari pendanaan dengan tenor jangka panjang.
“Kemudian kami juga mengawasi pinjaman bermasalah (Non-Performing Loan/NPL) secara cepat, simulasi dan stress test harus kami lakukan secara kontinu, serta menjaga rasio cakupan (coverage ratio) di level tinggi,” demikian Sunarso. ■