PT Bank Syariah Indonesia (BSI) mengungkapkan terdapat masalah diskonektivitas antara layanan keuangan syariah (dari sisi supply) dengan sektor riil ekonomi syariah dan industri halal (dari sisi demand).
Wakil Direktur Utama BSI Bob Tyasika Ananta mengatakan, hingga kini ternyata masih ada diskonektivitas antara supply dan demand yang mismatch, antara perbankan syariah dan industri halal.
“Diskonektivitas dengan sektor riil ekonomi syariah dan industri halal inilah yang menjadi salah satu tantangan,” ujarnya di Jakarta, Senin (26/2).
Menurut dia, dari sisi supply, BSI menilai bahwa belum banyak layanan perbankan syariah yang dapat digunakan oleh pelaku usaha industri halal. Sementara dari sisi demand, pelaku usaha syariah dan industri halal banyak yang belum mengetahui produk serta layanan perbankan syariah.
“Para pelaku usaha yang konteksnya juga sebetulnya secara deep inside dia akan menuju ke syariah, surrounding environment-nya itu juga menjadi masih suatu tantangan,” katanya.
Salah satu permasalahan industri halal di sisi demand, yaitu proses sertifikasi halal yang hingga saat ini masih berlangsung. Bob mencatat, saat ini baru sekitar 3,9 juta produk tersertifikasi halal dari target 10 juta sertifikasi di tahun 2024.
Permasalahan lain adalah belum terbentuknya industri halal yang ideal, sementara Indonesia masih bergantung pada bahan baku impor. Perbankan syariah juga diharapkan dapat melakukan tagging sektor halal pada portofolio pembiayaannya serta melakukan investasi atau pembiayaan ke sektor strategis nasional seperti hilirisasi industri halal, baik sektor manufaktur maupun logistik.
Selain permasalahan supply-demand antara perbankan syariah dengan industri halal, Bob menambahkan bahwa literasi dan inklusi keuangan syariah yang rendah juga merupakan salah satu kendala utama di dalam pengembangan ekosistem.
Dia menyebutkan, indeks literasi keuangan syariah hanya sebesar 9,14% di tahun 2022. Padahal, indeks literasi keuangan nasional sudah mencapai 49,68% dii tahun yang sama. Inklusi keuangan syariah juga masih rendah di tahun 2022, yaitu hanya sebesar 12,12% dibandingkan dengan inklusi keuangan nasional yang mencapai 85,10%.
BSI pun turut mendorong berbagai pemangku kepentingan di bidang ekonomi dan keuangan syariah untuk berkolaborasi dalam upaya peningkatan literasi dan inklusi. “Untuk meningkatkan literasi serta inklusi keuangan itu tidak hanya perannya BSI. Kita perlu peran ABP yaitu akademisi, kemudian juga para businessman termasuk BSI, dan kemudian pemerintah,” tandas Bob. ■