digitalbank.id – UOB Indonesia menilai proses integrasi pertumbuhan hijau ke dalam strategi pembangunan nasional akan menjadi kunci dari pertumbuhan berkelanjutan jangka panjang Indonesia. Hal ini akan membantu meningkatkan belanja konsumen dan mendukung strategi hilirisasi industri nasional.
UOB Indonesia memperkirakan bahwa produk domestik bruto (PDB) Indonesia tumbuh menjadi 4,8% pada tahun ini dan 5% pada 2023 di tengah ketidakpastian ekonomi global yang tengah berlangsung.
Optimisme UOB terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia diungkapkan dalam seminar tahunan UOB Indonesia Economic Outlook yang diadakan hari ini di Jakarta. Acara tahun ini bertemakan “Emerging Stronger in Unity and Sustainable”.
Presiden Direktur UOB Indonesia Hendra Gunawan mengatakan, di tengah berbagai tantangan serta ketidakpastian global, pihaknya mengapresiasi kepemimpinan Presiden Joko Widodo dalam menavigasi pemulihan ekonomi pasca pandemi. Perekonomian Indonesia terbukti resilience melalui sinergi kebijakan makro ekonomi pemerintah yang telah berhasil membawa negara kita pulih dengan cepat dan berkelanjutan.
“Seiring dengan peran kami sebagai katalis serta menghadirkan peluang, kami berharap dapat mendukung pemerintah, regulator, investor, dan masyarakat dalam membangun masa depan bersama yang berkelanjutan,” kata Hendra di Jakarta, Kamis (29/9).
Indonesia telah memperlihatkan kemajuan yang stabil menuju pemulihan ekonomi yang lebih tangguh setelah PDB berkontraksi sebesar 2% selama pandemi 2020. Namun, Indonesia tengah menghadapi risiko-risiko seperti lesunya pertumbuhan global, volatilitas keuangan global, pengetatan kebijakan makroekonomi, serta memanasnya ketegangan geopolitik. Akan tetapi, UOB Indonesia memprediksi bahwa perekonomian Indonesia akan tetap tangguh pada 2023 didukung konsumsi domestik yang kuat dan kenaikan ekspor komoditas.
Sementara itu, Ekonom UOB Enrico Tanuwidjaja mengatakan, perubahan iklim menjadi masalah paling mendesak yang tengah dihadapi dunia, termasuk Indonesia. Pada saat yang bersamaan, secara global tengah dihadapkan pada tantangan terkait permintaan energi, kelangkaan pangan, serta masalah kesehatan global.
“Negara-negara maju dan berkembang juga terus bekerja sama dalam mengadopsi kebijakan rendah karbon dan ketahanan iklim. Indonesia harus terus mendukung keberlanjutan dan juga mengelola belanja dan investasinya untuk memastikan pemulihan yang tangguh,” kata Enrico.
Berdasarkan Data Asia Development Bank menunjukkan bahwa permintaan energi di Asia akan melonjak dua kali lipat pada tahun 2030. Meski begitu, Indonesia saat ini masih sangat bergantung pada pembangkit listrik tenaga batu bara (PLTU) yang meliputi 67 persen dari bauran pembangkit energi nasional.
Tren tersebut dinilai akan melambat karena pemerintah secara resmi telah melarang pengembangan PLTU baru dan memprioritaskan pembangunan pembangkit listrik yang memanfaatkan sumber energi terbarukan. Penyediaan energi hijau berperan sangat penting karena memiliki korelasi yang sangat positif dengan pertumbuhan. (HAN)